Jakarta, Gatra.com - Asosiasi Produsen Biofuels Indonesia (Aprobi) masih mempertimbangkan besaran bea masuk antisubsidi (BMAS) untuk mengekspor produk ke Eropa.
"Kalau murah kita tetap ekspor karena harga kita lebih murah dari biodiesel mereka. Kalau sudah besar berhentilah," ujar Ketua Umum Aprobi, Paulus Tjakrawan, kepada Gatra.com, Senin (26/8). Apabila kebijakan B30 (biodiesel minyak kelapa sawit 30%) diterapkan, menurut Paulus, biodiesel dalam negeri akan habis diserap.
Pasar alternatif yang potensial dikembangkan di luar Uni Eropa adalah Tiongkok. Hal itu karena adanya permintaan yang cukup besar. Pada 2018 ekspor biodiesel ke Tiongkok sebesar 500.000 ton, sedangkan di luar Tiongkok relatif kecil.
Penerapan BMAS Indonesia oleh Uni Eropa (UE) akan ditetapkan pada September sebesar 8%-18.%. Keputusan final mengenai kebijakan BMAS baru diputuskan pada Januari 2020 .
"Kita belum tahu menang atau kalah. Kalau kita kalah, tergantung pemerintah dan pengusaha. Apakah kita mau ke WTO (Organisasi Perdagangan Dunia)? Tempat kita beradu argumen ada di sana," katanya.
Uni Eropa merupakan pasar besar bagi produk biodiesel Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), terjadi lonjakan ekspor biodiesel ke UE pada 2017 - 2018. Volume ekspor meningkat dari 115.995 ton pada 2017 menjadi 807.439 ton pada 2018 atau tumbuh sebesar 418%.
Adapun nilai ekspor meningkat dari US$ 116,74 juta pada 2017 menjadi US$ 532,59 juta pada 2018 atau melonjak 356%.