Jakarta, Gatra.com - Mantan Gubernur Jawa Barat (Jabar) dua periode, Ahmad Heryawan atau Aher mengaku ditanya penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait fungsi Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD).
BKPRD dulunya diketuai Iwa Karniwa, Sekda Jabar nonaktif yang telah ditetapkan sebagai tersangka kasus suap Meikarta.
"BKPRD ditanya fungsinya. Fungsinya adalah memberi rekomendasi atas izin atau nonizin sebelum izin tersebut diproses lebih lanjut oleh Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMTSP). Saya jelaskan," ujar Aher usai diperiksa di Gedung Merah Putih KPK, Jalan Rasuna Said, Jakarta Selatan, Selasa (27/8).
Baca Juga: Aher Penuhi Panggilan KPK soal Suap Meikarta
Menurut Aher, perizinan atau non-perizinan yang berkaitan dengan tata ruang yang dikeluarkan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) harus ada rekomendasi dari BKPRD. Namun, awal 2018 BKPRD bubar dan diserahkan ke dinas terkait.
"Semula sejak dibentuk BKPRD diketuai Pak Sekda Pak Iwa, kemudian berikutnya diganti oleh Pak Wagub. Tapi kemudian pada awal tahun 2018 BKPRD bubar. Kemudian BKPRD mau bubar atau diserahkan ke dinas terkait. Maka diserahkan tupoksinya ke Dinas Bina Marga dan Penataan Ruang," jelas Aher.
Aher menambahkan, saat ditanya penyidik tentang proses rencana detail tata ruang (RDTR) dari Kab Bekasi yang ditetapkan atau disepakati Bupati dan DPRD Bekasi, dirinya menampik telah mengetahuinya.
"Saya tidak tahu proses itu sama sekali. Kemudian setelah dikirim ke Provinsi, saya juga tidak tahu. Biasanya rekomendasi terhadap perda yang diajukan oleh Bupati, Wali Kota itu masuk ke meja saya setelah selesai diparaf oleh semua pihak baru saya tandatangan. Sampai saya pensiun belum masuk itu. Saya tidak tahu RDTR Bekasi seperti apa," tegas dia.
Baca Juga: KPK Jadwal Ulang Pemeriksaan Saksi Ahmad Heryawan
Dalam kasus ini, KPK sudah menetapkan Sekretaris Daerah (Sekda) Jabar nonaktif, Iwa Karniwa sebagai tersangka termasuk mantan Presiden Direktur PT Lippo Cikarang, Bartholomeus Toto.
Iwa diduga menerima suap untuk "melicinkan" pembahasan substansi Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kabupaten Bekasi Tahun 2017.
Penyuapan tersebut terjadi karena Raperda RDTR Kabupaten Bekasi tidak kunjung dibahas oleh Pokja Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) di tingkat provinsi. Untuk melancarkan pembahasan pejabat Kabupaten Bekasi terlebih dahulu harus bertemu dengan Iwa.
Iwa meminta jatah Rp1 miliar untuk penyelesaian proses RDTR di tingkat provinsi. Atas permintaan tersebut, Kepala Bidang Penataan Ruang Dinas PUPR, Neneng Rahmi Nurlaili, meneruskan permintaan Iwa kepada salah satu karyawan PT Lippo Cikarang.
Lippo Cikarang bersedia dan menyiapkan uang pelicin tersebut. Uang haram itu kemudian diserahkan kepada Neneng Rahmi untuk diteruskan kepada Iwa. Uang diserahkan Neneng melalui perantara sebesar Rp900 juta untuk pembahasan Raperda RTDR Kabupaten Bekasi.
Atas perbuatannya Iwa diduga melanggar pasal Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.