Semarang, Gatra.com - Lokalisasi prostitusi terbesar di Kota Semarang Resosialisasi Argorejo atau dikenal Sunan Kuning memasuki senjakala. Penutupan praktek prostitusi tinggal menunggu ketok palu dari Pemkot Semarang.
Meski masih terjadi tarik ulur, namun tetap menjadi kegelisahan para penghuni Sunan Kuning, baik warga binaan atau para wanita pekerja seks (WPS), warga asli, bahkan sampai kegelisahan para budayawan. "Sunan Kuning adalah salah satu ciri khas dari Kota Semarang," kata Bambang Iss Wirya, budayawan Kota Semarang, Senin (26/8).
Bambang mengatakan, terlepas dari stigma negatif sebagai tempat pelampiasan syahwat lelaki hidung belang, Sunan Kuning merupakan identitas penanda jejak sejarah pengelolaan prostitusi yang telah dilokalisir dengan baik.
"Sejarahnya panjang, setiap orang mendengar nama Sunan Kuning, pasti yang dituju Semarang. Lepas dari sebutan negatif, itu mengenalkan Kota Semarang," katanya.
Dia mengaku gelisah, ikon tersebut akan hilang. Karena itu, dia mencoba 'mengekalkan' sejarah nama Sunan Kuning dalam bukunya yang berjudul Ough ! Sunan Kuning (1966-2019). Berisi sejarah perjalanan Sunan Kuning sampai sekarang.
"Prostitusi di Semarang mengalami evolusi, tahun 1960 an para PSK ada tersebar di beberapa spot, di Gendingan, Bojong, Stadion, dan lainnya. Pemkot menerima keresahan masyarakat, lalu di lokalisir," katanya.
Dari situ, dalam bukunya dia menceritakan, awal lokalisir prostitusi ditempatkan di sebuah daerah bagian paling jauh di pinggiran Kali Banteng pada tahun 1963. Tempat itu, kata Bambang, dahulu masih padang ilalang, baru beberapa rumah tak ada listrik. Hanya penerangan lampu teplok.
"Warga protes banyak rumah-rumah gubuk dirobohkan, karena di situ ada sumber air Kali Garang, warga takut kali bisa tercemar akibat aktifitas itu," katanya.
Wali Kota Semarang saat itu, Hadi Subeno, kemudian memindahkan di Jalan Sri Kuncoro (lokasi saat ini). Dari situ muncullah embrio nama Sunan Kuning yang awalnya dinamakan Sri Kuncoro, sesuai nama jalan di tempat itu. Di situ juga mendapat protes warga karena nama jalan perkampungan dididentikan tempat prostitusi.
"Diprotes akhirnya wali Kota Hadi Subeno mengganti nama Resosialisasi Argorejo, berjalannya waktu nama SK merujuk pada Sunan Kuning yang dilekatkan pada sebuah makam ulama Muslim Tionghoa Soen An Ing," katanya.
Makam itu berjarak sekitar 100 meter dari Resos Argorejo. Melalui Wali Kota Semarang saat itu Hadi Subeno, diterbitkan SK Nomor 21/15/17/66, menetapkan komplek Argorejo sebagai lokalisasi. Penempatan resminya pada 29 Agustus 1966 dan tanggal itu diperingati Hari Jadi Resosialisasi Argorejo.
"Meski begitu, masih banyak PSK yang kembali kejalanan, terutama di sekitar Simpang Lima Semarang. Mereka dinamai gadis Ciblek," katanya.
Nama Ciblek sempat booming pada tahun 1981 sampai 1982, disebut pula gadis poci, karena saat itu di sekitar Jalan Pandanaran sampai Simpang Lima banyak berdiri warung pinggiran yang menjajakan minuman poci.
"Modusnya pemilik warung menjual minuman poci, yang melayani para ciblek, pembeli langsung bertransaksi dan eksekusi di hotel terdekat lokasi," katanya.
Fenomena itu meresahkan masyarakat, lalu para gadis Ciblek direlokasi ke kawasan Argorejo. Namun begitu, evolusi prostitusi kembali muncul. Kali ini dinamakan gadis matik, karena dalam bisnis esek-esek nya mengendarai kendaraan jenis matik.
"Itu muncul pada 2015 sampai sekarang masih ada. Mangkal di Jalan Tanjung, Poncol. Mereka jemput bola pelanggan mengendari motor matik," katanya.
Terkini, evolusi prostitusi di Kota Semarang bisa jadi hampir dipastikan akan mengalami mandek. Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa mengeluarkan ultimatum untuk segera ditutup komplek prostitusi seluruh Indonesia pada 2019.
"Sejarah yang bisa hilang, ikon kota Semarang akan hilang, cap khas Semarang akan hilang, tapi saya yakin ini (prostitusi) masih jalan tapi pakai nama lain, di Dolly meski tutup tapi masih jalan," katanya.