Home Gaya Hidup Resensi Film Once Upon a Time in Hollywood

Resensi Film Once Upon a Time in Hollywood

Jakarta, Gatra.com – Sutradara Quentin Tarantino kerap mengatakan bahwa dalam karirnya, dia hanya akan membuat sepuluh judul film saja. Delapan film dia sebelumnya kerap menerima penilaian positif dan award dari beragam pihak. Django Unchained (2012) dan Inglourious Basterds (2009) menuai piala di Oscar, BAFTA, juga Golden Globe. Pulp Fiction (1994) merebut penghargaan tertinggi Palme d’Or di Cannes. Teknis penyutradaraan dan penceritaan Tarantino kerap menjadi rujukan banyak filmmaker di seluruh dunia. Alhasil, ketika awal 2019 official photo dari film terbarunya, Once Upon a Time in Hollywood terbit, disambut sangat hangat oleh cinema-goers.

Memegang tiga peran sekaligus (sutradara, penulis, dan produser), Tarantino mengajak penonton Once Upon a Time in Hollywood bermain dan memasang puzzle yang berceceran, lalu berusaha menyusunnya sendiri. Seperti dikatakan Tarantino, plot dalam film ini memiliki kemiripan gaya dengan Pulp Fiction. Terdiri dari beberapa cerita yang paralel. 

Berlatar pada 1960-an, dan menyorot lika-liku industri perfilman pada saat itu, era Golden Age Hollywood. Golden Age adalah masa di mana studio-studio besar mempekerjakan kru film (sutradara, aktor, penulis naskah, dan sebagainya) sebagai karyawan, dan bukan dibayar per proyek film seperti hari ini. Tak heran, jika para aktor masa itu memerankan karakter itu-itu saja, termasuk nama-nama besar semacam Audrey Hepburn, Jimmy Stewart, Humphrey Bogart, dan sebagainya.

Baca Juga:  Tarantino Edit Filmnya Beberapa Hari Sebelum Jadwal Penayangan di Cannes

Demikian pula dengan Rick Dalton (Leonardo DiCaprio). Dia merupakan aktor terkenal untuk film-film aksi. Ia memiliki rumah besar dan properti mewah di Hollywood. Meski membintangi banyak film, namun memiliki satu benang merah yang sama dan itu membuatnya sebal. Pasalnya, karakter antagonis yang dia perankan sesungguhnya sangat kontradiktif dengan watak aslinya, cengeng. 

Cemas dengan karirnya sebagai aktor yang kian merosot, Dalton sempat memutuskan untuk hijrah ke Italia, dan menerima tawaran Marvin Shwarz (Al Pacino) untuk membintangi film koboi di sana. Padahal sebelumnya, Dalton kerap mengolok-olok tawaran Shwarz. Baginya, film koboi garapan orang Italia adalah kekonyolan. Karena kondisi yang kian terpuruk, Rick menerima tawaran tersebut.  

Hadir pula sahabat sekaligus asisten sekaligus stuntman yang bekerja untuk Dalton yakni Cliff Booth (Brad Pitt). "Ia bertugas untuk memikul bebanku," kata Dalton pada adegan awal film. Booth tinggal di sebuah trailer yang kecil dan kusam bersama anjingnya yang penurut, Brandy.

Baca Juga: Film Terbaru Tarantino, 'Once Upon A Time in Hollywood' Pukau Cannes

Booth adalah karakter yang dingin, loyal, cerdik, dan doyan baku hantam. Ia terpikat dengan seorang gadis Hippie bernama Pussycat (Margaret Qualley). Booth mendatangi tempat tinggal para hippie saat ia mengantar pulang Pussycat, dan mendapati perlakuan sinis dari mereka. Salah satunya dari Sqeaky Fromme (Dakota Fanning).

Hal yang menarik adalah, salah satu aktor yang sukses mencuri perhatian yakni artis cilik di film seri terbaru yang akan dibintangi Dalton, Trudi (Julia Butters). Bocah 8 tahun yang sangat dewasa dan jago akting. Dia mengingatkan tentu saja akan karakter serupa Dakota Fanning di Uptown Girls (2003). 

Di sisi lain, ada Sharon Tate (Margot Robbie) yang merupakan istri dari sutradara berdarah Polandia, Roman Polanski. Polanski (Rafal Zawierucha) saat itu tengah berjaya usai dipuji-puji dengan film terbarunya, Rosemary’s Baby (1968). Pasangan ini tinggal bertetangga dengan Dalton. Dalam kejadian sesungguhnya, Sharon Tate dibunuh segerombolan anggota Keluarga Manson. Kelompok cult yang dipimpin oleh Charles Manson (Damon Herriman), pada malam 8 Agustus 1969. Herriman juga memerankan Manson dalam serial Netflix, Mindhunter.

Perjalanan Dalton dan Booth dipisah dengan berbagai alur maju-mundur dari tiap tokoh. Tarantino membawa kesan bahwa cerita-cerita yang ia bangun akan menuju pada satu sasaran, namun ia justru membiarkan cerita-cerita kian berkembang dan bercabang dari tiap tokoh. Dibalut dengan alur komedi yang kental. Dalton yang bodoh dan cengeng, serta Booth yang setia dan penuh kejutan, akan menggenapi komedi-komedi hitam a la Tarantino. Makin lengkap dengan kehadiran tokoh-tokoh besar perfilman masa itu, seperti Bruce Lee (Mike Moh) dan Steve McQueen (Damian Lewis).

Baca Juga: Film Korea Selatan ‘Parasite’ Menangkan Palme d'Or di Cannes

Tarantino kerap mengatakan Once Upon a Time in Hollywood adalah film “paling personal” buat dia. Merupakan surat cintanya untuk Los Angeles. Masa Golden Age di mana beberapa film favoritnya semisal The Great Escape (1963) dan The Good, the Bad and the Ugly (1966) baru saja muncul. Film ini mewujudkan “potongan memorinya”. Dia menyamakannya dengan cara Alfonso Cuaron menggarap Roma (2018), yang juga merupakan proyek personal. Tadinya, penulisan yang memakan waktu lima tahun tersebut ingin dibuat menjadi sebuah novel. Belakangan, Tarantino memutuskan ceritanya akan lebih pas jika diubah menjadi naskah film.

Judulnya terinspirasi dari salah satu sutradara favoritnya, Sergio Leone: Once Upon a Time in the West (1968) dan Once Upon a Time in America (1984). Pemilihan judul ini membuatnya memiliki “aspek fairy-tale”. Aspek fantasi ini sangat jelas, karena ini adalah kisah impian Tarantino jika sosok Dalton nyata dan hidup bertetangga dengan Polanski-Tate. Di sisi lain, karena film ini tidak sepenuhnya fiksi, maka ada unsur potongan memori dalam penamaan judul itu. 

Menonton film ini seperti tengah belajar teknis pembuatan film. Bagaimana membuat dialog dalam dialog menjadi satu kesatuan yang utuh. Mengingat ada banyak adegan Dalton tengah dalam set film. Bagaimana gerak kamera memiliki makna tersendiri, seperti saat Dalton berdialog dengan James Stacy (Timothy Olyphant) ketika tengah syuting di dalam bar. 

Baca Juga: Akhirnya Menikah, Begini Pengalaman Sutradara Tarantino

Bagi para fans Tarantino tentu tak keberatan dengan padatnya dialog dalam film ini, serupa dengan yang dia lakukan di Pulp Fiction misalnya. Tak banyak adegan baku hantam seperti Kill Bill atau Reservoir Dogs, walau di ujung cerita tetap menghadirkan adegan penuh darah yang jadi ciri khas dia. Penonton dipaksa memberi perhatian penuh untuk menyimak dialog-dialog mereka. Sehingga bagi beberapa orang itu bisa jadi membosankan. 

Lebih dari itu, penonton dimanjakan dengan visual vintage. Bukan tak mungkin, setelah ini tren 1960-an ala Tate akan bangkit lagi. Kacamata lebar, boot tinggi, halter neck, dan warna-warna hangat. Demi menjaga akurasi tahun dengan tepat, Tarantino malah meminta kepada para pemilik toko di sepanjang jalan yang dilewati Tate untuk mengubah dekorasi luar mereka. Keputusan yang awalnya ditentang, dan belakangan malah disukai para pemilik tenant.

Saat proyek ini mengemuka pada pertengahan 2017, Tarantino sudah siap kembali berkolaborasi bersama The Weinstein Company. Tapi setelah kasus pelecehan seksual Weinstein terkuak, Tarantino mundur. Script dia yang sangat menjanjikan jadi rebutan antara Warner Bros, Universal Pictures, Sony Pictures, Paramount Pictures, Annapurna Pictures, dan Lionsgate. Belakangan Sony menang. Poin plusnya, untuk menghidupkan adegan film-film seri, Tarantino mendapat akses ke katalog tayangan TV milik Columbia Pictures – yang kini telah dibeli Sony Pictures – pada era 1950an-1960an.

Awalnya, film ini hendak rilis pada 9 Agustus 2019, tepat 50 tahun kematian Sharon Tate, tapi Sony mengubahnya menjadi 26 Juli. Ketika Once Upon a Time in Hollywood tayang perdana di Festival Film Cannes, Prancis, 21 Mei lalu, penonton sangat membludak. Saat berakhir, film ini mendapat standing ovation selama tujuh menit. Walau belakangan dalam sesi kompetisi, dia gagal mendapat Palme d’Or yang lantas diraih film Korea Selatan, Parasite (2019) karya Bong Joon-ho.

 
1776