Jakarta, Gatra.com - Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Izzudin Al Farras, menilai, pemisahan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dari Kementerian Keuangan tidaklah menjamin efektivitas penerimaan pajak di Indonesia.
"Pemisahan DJP dari Kemenkeu sama sekali tidak menjamin semakin efektif dan meningkatnya penerimaan pajak yang lebih signifikan ketimbang DJP tetap berada di bawah Kemenkeu," katanya dalam Diskusi Online: Membedah Target Penerimaan Negara dalam RAPBN 2020, Kamis (22/8).
Farras menuturkan, salah satu permasalahan perpajakan di Indonesia adalah rendahnya rasio petugas pajak terhadap jumlah penduduk atau jumlah wajib pajak. Rasio petugas pajak terhadap total jumlah penduduk Indonesia adalah 1:5.293. Apabila dihitung berdasarkan jumlah wajib pajak (WP), rasionya sebesar 1:936 WP.
"Apabila dengan pemisahan DJP ini mampu menurunkan ketimpangan rasio tersebut, tentu besar kemungkinan penerimaan pajak akan meningkat signifikan," katanya.
Peneliti Indef yang lain, Nailul Huda, menyampaikan bahwa beberapa negara sudah menerapkan organisasi pajak yang independen, seperti Cina, Selandia Baru, dan Maladewa, dan semiindependen seperti Australia, Hong Kong, dan Singapura.
"Sejatinya bukan masalah dipisah atau tidak, namun DJP harus diberikan kewenangan yang lebih fleksibel," tuturnya.
Menurutnya, DJP Indonesia tidak mempunyai kewenangan seperti desain internal, alokasi dana, rekrutmen dan pemberhentian pegawai, serta wewenang gaji dan remunerasi.
"Thailand, meskipun memiliki sistem sama seperti Indonesia, namun mempunyai kewenangan dalam desain internal organisasi dan alokasi dana," katanya. Sistem yang dianut oleh Thailand berhasil memberikan kinerja yang baik bagi penerimaan perpajakan.
"Diberikannya kewenangan yang lebih fleksibel akan memberikan dampak yang baik bagi penerimaan. Minimal bisa mendekati Thailand dalam hal tax ratio, (rasio pajak terhadap pendapatan domestik bruto)," katanya.