Jakarta, Gatra.com - Presiden Joko Widodo (Jokowi) mencanangkan pembentukan kementerian baru dan penggabungan antardirektorat jenderal kementerian, salah satunya adalah antara Kementerian Luar Negeri (Kemlu) dan Kementerian Ekspor. Berikut tanggapan ahli hubungan internasional dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, Teuku Rezasyah.
"Tentunya rencana penggabungan ini sudah melewati studi kelayakan, tidak mungkin Presiden mengatakan perombakan birokrasi tanpa studi kelayakan. Konsekuensinya adalah dalam lingkup penggabungan visi dan misi," ucap Rezasyah ketika dihubungi Gatra.com pada Kamis (22/8).
Di antara konsekuensi yang dimaksud oleh Rezasyah, adalah soal keorganisasian, kepegawaian, dan egosektoral. Ia mengharapkan pemerintah bisa belajar dari negara lain, seperti Australia, Selandia Baru, Jepang, dan Inggris.
"Saya melihat hal ini [penggabungan yang sudah diterapkan negara lain] ada positifnya. Di mana perundingan-perundingan internasional bisa memiliki kerangka politik yang jelas, kemudian disesuaikan dengan strategi pembangunan jangka panjang," katanya.
Rezasyah menyebutkan, dengan adanya penggabungan seperti ini, diplomat tidak hanya berpikir menang-kalah dalam suatu perundingan internasional, tetapi juga semuanya diletakkan dalam suatu agenda besar dari pembangunan nasional jangka panjang.
Ketika ditanya mengenai apa saja tantangan Kemlu dalam menghadapi penggabungan ini, Rezasyah menyebutkan bahwa dalam jangka pendeknya, tantangan tersebut antara lain adalah sinkronisasi dalam visi, misi, dan tujuan strategi dari Kementerian Perdagangan atau Ekspor, yang spesifik mengurusi perdagangan, kemudian harus masuk ke bagian dari visi dan misi Kemlu yang lebih makro.
"Yang selanjutnya adalah proses rekrutmen. Karena sebagai contoh, dari Kementerian Perdagangan, status mereka bukanlah diplomat. Tantangan terbesarnya adalah penelitian di antara dua kementerian untuk menentukan siapa yang akan jadi diplomat, dan mana yang tetap dipertahankan sebagai staf administrasi," ujarnya.
Rezasyah khawatir nantinya dalam penentuan kepegawaian ini bisa menimbulkan kecemburuan di antara dua kementerian ini.
Tantangan selanjutnya yang mungkin jadi "batu sandungan" dalam proses penggabungan ini adalah urusan sinkronisasi data antarkementerian terkait. Karena kemungkinan besar ada data yang tidak diketahui masing-masing kementerian.
Sebagai contoh, Rezasyah mengatakan, bisa saja ada suatu perjanjian yang bagi Kementerian Perdagangan itu sudah tidak menguntungkan, tetapi bagi Kemlu, perjanjian itu masih bisa menguntungkan, karena secara makro mungkin hubungan bilateral di perjanjian itu misalnya sangat baik.
"Jadi akan ada tahap sinkronisasi, secara teori mungkin akan repot. Tetapi bagaimanapun kedua pihak harus mampu membangun suatu kelompok kerja bersama, untuk sama-sama meneliti perjanjian perdagangan dari aspek perdagangan, ekonomi makro, dan politik," kata Rezasyah.