Jakarta, Gatra.com - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengecam pemerintah yang memperlambat akses internet di wilayah Papua.
Koordinator KontraS, Yati Andriyani, mengatakan upaya throttling atau pelambatan akses internet di beberapa wilayah Papua melanggar hak masyarakat atas informasi, mengumpulkan, dan menyebarkan informasi sebagaimana dijamin Pasal 28F UUD 1945.
"Tindakan tersebut menunjukkan bahwa negara tidak berimbang dan tidak proporsional dalam merespons persoalan yang berkembang di Papua," ujar Yati saat dimintai konfirmasi, Kamis (22/8).
Hal itu disampaikan Yati karena tindakan rasialisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya belum ditegakkan secara hukum. Kemudian Ia juga menyampaikan bahwa hingga saat ini, pemenuhan atas hak-hak dan rencana penyelesaian persoalan Papua yang menyeluruh belum juga ditunjukkan oleh negara.
"Kebijakan pembatasan akses informasi ini kami nilai jauh dari penyelesaian yang tepat," katanya. Apalagi, sebelumnya, pemerintah juga menyatakan adanya penambahan 600 pasukan di Manokwari dan Sorong.
Dengan adanya pelambatan akses itu, KontraS mengkhawatirkan soal transparansi dalam penanganan situasi di Papua. Ada kesan, pemerintah justru menghindari pengawasan publik secara terbuka baik dari Papua maupun dari luar Papua.
Seharusnya, kata Yati, penambahan aparat bersenjata dalam rangka mengamankan situasi mesti diimbangi dengan pembukaan akses informasi seluas-luasnya. Hal itu demi memastikan transparansi dan akuntabilitas kinerja aparat keamanan demi mencegah terjadinya pelanggaran HAM.
"Pelambatan akses internet dapat menjadi 'penjara' yang lain bagi Papua dan bagi publik," katanya.