Jakarta, Gatra.com - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia menyatakan, reaksi dari pemerintah pusat terhadap kejadian diskriminasi rasial yang terjadi di Surabaya salah alamat. Hal itu disampaikan saat Ketua Pengembangan Organisasi YLBHI, Febi Honesta merespon kunjungan Menko Polhukam Wiranto, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, dan Kapolri Jenderal Tito Karnavian yang hari ini berangkat ke Papua.
Febi mempertanyakan alasan pimpinan kementerian dan institusi di bidang pertahanan itu bertolak ke Papua. Hal ini menyangkut pokok masalah diskriminasi rasial yang terjadi di Surabaya.
"Kenapa pemerintah pusat tidak melakukan kunjungan yang sama ke Surabaya?," ujar Febi di di Kantor YLBHI, Jakarta Pusat, Kamis (22/8).
Menurut Febi, seharusnya pemerintah pusat melakukan penegakan hukum di Surabaya, karena ada peristiwa yang sudah melanggar Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Proses penegakan hukum tersebut semestinya menjadi fokus pemerintah.
"Apakah korban sudah mendapat rehabilitasi? Apakah korban sudah mendapatkan perlindungan? Apakah sentimen kebencian itu tidak tersebar meluas?," ujar Febi.
Sejalan dengan itu, Direktur LBH Papua Emanuel Gobay juga mempertanyakan sikap yang diambil oleh pemerintah. "Yang kita desak hari ini adalah penegakan hukum atas tindakan diskriminasi rasial yang sedang terjadi, atau yang sudah terjadi di Surabaya," katanya.
Beberapa masukan dari LBH, diperkuat pernyataan Kapolda Papua Barat Brigjen Pol Herry Rudolf Nahak. Herry mengatakan, ada penambahan 600 pasukan di Manokwari dan Sorong. Padahal kondisinya kasus rasial, sehingga saat ini belum terselesaikan. Belum ada penegakan hukum yang terhadap pelaku diskriminasi tersebut. Malah sejumlah masyarakat Papua yang ditindak karena menyuarakan haknya.
"Satu contoh, pada saat yang mengecam tindakan rasis di Surabaya. Itu ada massa aksi di Timika yang ditahan. Ini kan fakta," ucap Gobay yang akrab disapa Edo.