Jakarta, Gatra.com - Pengembangan pariwisata Danau Toba telah merapas tanah adat serta sumber mata air milik masyarakat Desa Sigapiton, Ajibata, Toba Samosir, Sumatera Utara.
Danau Toba ditetapkan pemerintah sebagai salah satu Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) sebagai 'New Bali'. Masyarakat Sigapiton mengaku terus berseteru dengan Badan Pelaksana Otorita Danau Toba (BPODT).
"Tanah persawahan penting bagi Sigapiton, kalau ada bangunan kami mati, tidak ada air, tidak ada tempat bertani," ujar sesepuh warga Sigapiton, Rasmi Sinaga di Seknas Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Jakarta Selatan, Rabu (21/8).
BPODT disebut melakukan penyerobotan lahan milik warga Desa Sigapiton. Lahan milik warga dipasangi patok tanpa pemberitahuan untuk dibangun bangunan milik BPODT.
Manogi Sirait, warga Sigapiton, mengatakan lahan yang diserobot BPODT terdapat sumber mata air untuk pengairan sawah milik warga desa. Saat ini kondisinya mengkhawatirkan karena sudah tercemar.
Manogi mengaku tidak menolak proyek KSPN Danau Toba namun ia meminta Pemerintah dan BPODT mengikuti jalur hukum dan adat untuk menghargai masyarakat sigapiton.
"Apa susahnya menghargai masyarakat sigapiton? begitu susahnya pemerintah mengajak dialog masyarakat," tanya Manogi.
Sekjen Seknas KPA, Dewi Kartika mengatakan Proyek KSPN di Danau Toba merupakan model baru perampasan tanah dengan dilegitimasi keputusan presiden.
Bersama masyarkat yang terdampak, Seknas KPA meminta kepada Presiden untuk meninjau ulang Peraturan Presiden no 3 tahun 2016 yang menjadi dasar 10 Proyek KSPN.
"Perpres harus ditinjau ulang, Pemerintah dalam hal ini Kantor Staf Presiden harus investigasi ke lapangan, bertemu langsung dengan warga lalu melaporkan ke presiden dampaknya," tegas Dewi.
Investigasi tersebut bisa melihat langsung dampak proyek KSPN di Danau Toba terlebih terkait masyarakat yang kehilangan hak-haknya akibat proyek tersebut.