Doha, Gatra.com- Qatar dikabarkan menarik diri dari komitmen yang ditandatangani oleh 22 negara. Ini mendukung catatan hak asasi manusia atas pelanggaran Tiongkok terhadap etnis Uighur.
Sebelumnya, melalui pernyataan bersama kepada Komisioner Tinggi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa, 22 negara itu mengkritik Beijing terhadap laporan penahanan skala besar terhadap muslim Uighur. Selain itu, PBB juga menyoroti pelarangan dan pengawasan yang berlebihan terhadap kelompok minoritas di Cina.
Dilansir dari Bloomberg, Pemerintah Qatar menginformasikan Presiden Komisioner Tinggi Hak Asasi Manusia PBB Coly Seck tentang keputusannya menolak surat penandatanganan tertanggal 12 Juli lalu. Ini sebagai bentuk dukungan menentang pelanggaran HAM di Tiongkok atas Uighur.
"Dengan mempertimbangkan fokus kami pada kompromi dan mediasi, kami percaya, pengesahan surat tersebut akan membahayakan prioritas utama kebijakan luar negeri kami," ujar Duta Besar Ali Al-Mansouri, Perwakilan Tetap Qatar untuk PBB di Jenewa kepada Coly Seck pada 18 Juli lalu.
Dalam hal ini, Ali Mansouri menuturkan, negaranya ingin mempertahankan sikap netral. Selain itu, menawarkan layanan mediasi sebagai fasilitator. Bloomberg menyebut, tidak jelas apa yang mendorong perubahan sikap itu. Namun, Qatar dikenal sebagai pengekspor gas alam cair terbesar di dunia. Tentunya mereka enggan merusak hubungan dengan Tiongkok, yang merupakan mitra dagang terbesar ketiga negara itu pada 2018 lalu. Tercatat total perdagangan sekitar US$ 13 miliar .
Sebelumnya, Emir Qatar Sheikh Tamim bin Hamad Al Thani mengunjungi Beijing pada Januari, ketika Presiden Xi Jinping menyebutnya sebagai teman lama dan teman baik. Namun lebih dari dua tahun, diputuskan embargo diplomatik dan ekonomi oleh empat negara dalam koalisi yang dipimpin Saudi. Doha juga telah menekankan keinginannya untuk membangun hubungan dengan Barat, termasuk negara-negara Eropa dan AS.
37 negara termasuk Arab Saudi dan Pakistan, menandatangani surat yang membela pemerintah Xi dan menolak tindakan keras yang sedang berlangsung terhadap warga Uighur di wilayah barat jauh Xinjiang.
Surat Itu dikirim, setelah 22 negara melancarkan kritik global kolektif pertama terhadap kebijakan Tiongkok mengenai Uighur. Mereka mendesak Beijing untuk mengakhiri penahanan massal dan menyatakan keprihatinan atas "pengawasan luas dan pembatasan" terhadap warga Uighur dalam pernyataan 8 Juli kepada Komisarioner Tinggi Hak Asasi Manusia PBB.
Diketahui, Anggota parlemen AS telah mendorong sanksi kepada Tiongkok atas pelanggaran HAM di beberapa kamp re-edukasi di Xinjiang, wilayah yang dihuni sekitar 10 juta warga Uighur. Departemen Luar Negeri AS mengatakan sebanyak dua juta orang Uighur ditahan di kamp itu.
Awal tahun ini, para aktivis bekerja untuk menghentikan deportasi advokat Uighur Ablikim Yusuf dari Qatar kembali ke Tiongkok, yang memungkinkannya untuk pergi ke AS sebagai gantinya. Yusuf telah memposting video online dari bandara internasional Doha yang meminta bantuan untuk tidak dikirim pulang, di mana ia akan menghadapi hukuman atas pembelaannya atas nama warga Uighur lainnya.