Home Internasional Era Baru Sudan, Dewan Berdaulat Pimpin Negara Ini

Era Baru Sudan, Dewan Berdaulat Pimpin Negara Ini

Khartoum, Gatra.com - Sudan memasuki periode pemerintahan baru. Anggota dewan berdaulat telah dilantik secara resmi, di istana presiden yang berada di ibu kota Khartoum, Sudan, pada Rabu (21/8).

Dewan berdaulat itu berjumlah 11 orang, terdiri dari enam warga sipil, dan lima tentara. Mereka akan memerintah Sudan selama kurang lebih tiga tahun hingga datangnya pemilihan umum di negara itu.

Kesebelas anggota dewan itu menggantikan Dewan Militer Transisi (TMC) yang mengambil alih kekuasaan Sudan mulai April, pasca penggulingan mantan presiden Sudan Omar al-Bashir.

Pelantikan dewan ini dilakukan beberapa hari setelah TMC dan Pasukan Kebebasan dan Perubahan (FFC), aliansi kelompok-kelompok protes dan partai-partai oposisi menandatangani kesepakatan pembagian kekuasaan terakhir.

Kantor berita Aljazeera melaporkan, Rabu (21/8), Jenderal Abdul Fattah al-Burhan, yang juga memimpin TMC, dilantik sebagai ketua dewan pada Rabu pagi. Dia akan memimpin dewan selama 21 bulan, setelah itu seorang pemimpin sipil yang ditunjuk oleh gerakan protes akan mengambil alih untuk 18 bulan ke depan.

Al-Burhan (59) mengenakan baret hijau dan seragam militer saat mengambil sumpahnya di hadapan hakim tinggi Sudan, satu tangan memegang Alquran dan tangan lainnya memegang tongkat militer di bawah lengannya.

Sembilan anggota dewan lainnya mengambil sumpah jabatan mereka tak lama setelah itu. Anggota ke-11, seorang warga sipil, akan dilantik di kemudian hari, kata media pemerintah di Sudan, SUNA.

"Dengan dimulainya masa transisi di Sudan, kami telah memasuki fase paling kompleks, fase pembangunan dan reformasi," ujar juru bicara Asosiasi Profesional Sudan, bagian penting dari FFC.

Selain al-Burhan, tentara yang dilantik dalam pemerintahan Sudan adalah Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo, wakil kepala TMC yang dikenal luas sebagai Hemeti, serta Yasser Abdul Rahman al-Atta, Ibrahim Jabir dan Syams al-Din Kabashi.

Keenam warga sipil itu termasuk dua wanita - Ayesha Musa Saeed dan Raja Nicola Issa Abdul-Masseh, yang merupakan seorang hakim dari minoritas Kristen Koptik Sudan. Sementara yang lainnya adalah Hassan Sheikh Idris Qadi, Al-Siddiq Tawer Kafi, Mohammed al-Fekki Suleiman dan Mohamed Osman Hassan al-Taayeshi. Namun masih ada anggota dewan terakhir yang belum mengambil sumpahnya.

Dewan berdaulat ini akan mengawasi pemerintahan di Sudan dan mengawasi 300 anggota badan legislatif di negara tersebut.

Warga Sudan pun menyambut era baru ini. Di Khartoum, Ramzi al-Taqi, seorang penjual buah, berjanji untuk menjaga penguasa baru Sudan. "Jika dewan ini tidak memenuhi aspirasi kami dan tidak dapat melayani kepentingan kami, kami tidak akan pernah ragu untuk melakukan revolusi lain," katanya kepada kantor berita AFP. "Kami akan menjatuhkan dewan seperti yang kami lakukan pada rezim sebelumnya," sambungnya.

Militer menggulingkan mantan presiden Sudan, Omar al-Bashir pada April, setelah demonstrasi massa meluas berbulan-bulan, terhadap pemerintahan otoriternya selama tiga dekade. Protes awal massa meletus pada Desember tahun lalu, karena kondisi ekonomi Sudan yang terpuruk. Sementara warga Sudan mengendus praktik korupsi yang dilakukan presidennya.

Para pengunjuk rasa terus turun ke jalan-jalan setelah penggulingan al-Bashir pada 11 April, mengantisipasi jika militer tak berpihak pada massa dan justru berpegang teguh pada kekuasaan. Massa juga menuntut transisi cepat ke pemerintahan sipil.

Kini Sudan memasuki era pemerintahan baru. Namun sejumlah hambatan tampaknya masih akan membelit negara ini. Luka Kuol, profesor di Pusat Studi Strategis Afrika asal Amerika Serikat (AS) menggambarkan pengambilan sumpah dewan yang berdaulat sebagai "kemenangan besar" bagi rakyat Sudan.

Ada banyak tantangan di depan, katanya. "Sudan telah menjalani sekitar 30 tahun yang 'salah aturan' oleh rezim al-Bashir. Ini akan memakan waktu lama bagi negara ini untuk membersihkan sistem. Anda cenderung memiliki harapan yang sangat tinggi dari warga ... tetapi kapasitas yang Anda berikan akan terbatas, karena sistem yang lama masih ada di sana. Mengelola harapan rakyat akan menjadi salah satu tantangan nyata pemerintah ini," tegasnya.

Masalah kedua menurut Luka Kuol adalah sektor keamanan yang dipolitisasi, serta mengatasi krisis ekonomi yang memicu protes terhadap al-Bashir dan konflik yang sedang berlangsung di wilayah Darfur, Kordofan dan Blue Nile.

"Meskipun ada banyak tantangan di depan, ada banyak peluang bagi rakyat Sudan untuk membuat perbedaan dan memetakan jalan baru untuk stabilitas," tambahnya.

384