Depok, Gatra.com - Hadirnya Undang-Undang (UU) Nomor 16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum rupanya belum maksimal dalam pelaksanaanya. Salah satunya terkait belum meratanya pendidikan tinggi bantuan hukum pada setiap perguruan tinggi.
Hal ini disampaikan Ketua LBH-APIK, Ratna Bataramunti saat gelar konfrensi pers di Taman Rekreasi Wiladatika, Depok, Rabu (21/8). Identifikasi masalah UU ini diketahui dalam Konferensi Nasional Bantuan Hukum I yang dihadiri lebih dari 100 Organisasi Bantuan Hukum (OBH) seluruh Indonesia.
"Sampai saat ini kita mengidentifikasi berbagai permasalahan mulai dari akarnya. Misalnya dari soal pendidikan tinggi bantuan hukum yang harusnya ada di semua perguruan tinggi, tapi kita tahu ini juga belum masif," kata dia.
Ratna melanjutkan, peran pendidikan tinggi hukum seharusnya dapat lebih maksimal dalam isu bantuan hukum. Pasalnya, para aktor penyelenggara bantuan hukum dilahirkan dari pendidikan tinggi hukum.
"Karena dari situ lah kita melahirkan aparat penegak hukum, para praktisi hukum, yang semua sangat berperan dalam penyelenggaraan bantuan hukum di masyarakat," jelasnya.
Selain itu, Ratna juga mengkritisi anggaran bantuan hukum yang terbilang minim. Saat ini, anggaran bantuan hukum hanya berkisar Rp53 miliar saja.
"Kita tahu masyarakat miskin jumlahnya sangat banyak dan tidak sebanding dengan program bantuan hukum yang hanya Rp53 miliar. Dan kita menekankan bantuan hukum ini juga sama seperti hak dasar lainnya, dan harusnya ada persentase anggaran seperti anggaran pendidikan, kesehatan, yang ada di APBN maupun APBD," jelasnya.
Ratna menegaskan, hak atas bantuan hukum merupakan salah satu hak dasar yang diatur dalam konstitusi. Oleh karenanya, hak ini harus dapat dipenuhi oleh negara.
"Jadi masih banyak persoalan, dan kita harap hasil konferensi ini nanti akan melahirkan kebijakan yang berbasis kepada kebutuhan dari masyarakat," harapnya.
Pada sisi aplikasi, hadirnya UU ini tetap dirasakan membantu terutama jaminan hukum bagi masyarakat miskin. Koordinator Riset dan Program LBH Masyarakat Ajeng Larasati mengatakan, ke depan, hal ini perlu dikawal agar tetap berjalan.
"Itu adalah sesuatu yang luar biasa dan perlu kita kawal terus ke depannya untuk memastikan bahwa pemberian bantuan hukum tersebut dilakukan dengan baik dan dengan kualitas yang juga cukup baik," terang dia.
Meski begitu, Ajeng tetap mengkritisi persoalan dalam pelaksanaan bantuan hukum yang salah satu kuncinya adalah sinergitas antar pemangku kepentingan. Seharusnya, beberapa program yang dimiliki penegak hukum bisa selaras dengan pelaksaan bantuan hukum oleh Organisasi Bantuan Hukum (OBH).
"Sinergitas antar lembaga pemerintah disini misalnya ada beberapa program yang seharusnya bisa berjalan bersama-sama. Seperti program Pro Bono yang menjadi kewajiban advokat yang sudah tercantum di UU Advokat. Ada juga program mengenai pembebasan biaya perkara di Mahkamah Agung, dan program bantuan hukum itu sendiri melalui OBH," katanya.
Ia melanjutkan, semestinya kasus-kasus yang ditangani OBH dalam proses bantuan hukum bisa diberikan bebas biaya perkara di MA. Selain itu, bagi advokat yang menjalankan program pro bono, bisa melaksanakan kewajibannya di daerah-daerah yang tidak memiliki OBH.
"Kita juga bicara tentang bagaimana memastikan akses pemberi bantuan hukum di sepanjang proses peradilan, seperti misalnya di kejaksaan, kepolisan, dan MA,"
Menurutnya, saat ini masih banyak OBH kesulitan menemui klien yang berada dalam tahanan. Tentunya, lanjut Ajeng, hal ini menghalangi proses pemberian bantuan hukum.
985