Jakarta, Gatra.com - Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Muhammad Nawir Messi berpendapat situasi perekonomian dalam 2-3 tahun terakhir sangat dilematis untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang tingggi di Indonesia.
Namun, Ia memperkirakan titik optimum pertumbuhan ekonomi yang dapat dicapai Indonesia. "Dugaan saya perkiranan 5-6%. Lebih dari itu akan memanas," ungkapnya kepada Gatra.com, Senin (19/8).
Sambungnya, pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi akan memicu impor yang lebih besar. Hal ini disebabkan oleh struktur ekonomi Indonesia yang membutuhkan bahan baku dan bahan penolong yang dipenuhi dari impor.
Baca Juga: INDEF Prediksi Pertumbuhan Ekonomi 5,3 Persen Sulit Tercapai
"Kalau tidak ada perbaikan dan struktur ekspor, pasti ada pembengkakan defisit, nanti nilai tukar hancur. Kalau nilai tukar hancur berdampak pada dimensi kehidupan lainnya," ungkapnya.
Solusinya, yakni mendorong hilirisasi pengelolaan sumber daya alam, seperti pengembangan industri pengolahan minyak kelapa sawit (CPO) dan turunannya.
"Yang saya persoalkan bagaimana di sisi pertumbuhan mencapai pertumbuhan yang optimum tanpa memperlebar defisit transaksi berjalan?," tegasnya.
Baca Juga: Pelemahan Ekonomi Global, Dampak Kebijakan di 2018
Ekonom Universitas Indonesia (UI), Muhammad Chatib Basri berpendapat defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) tak bermasalah selama modal asing yang masuk berbentuk investasi asing langsung (Foreign Direct Investment/FDI). Dengan demikian hasil FDI tersebut tentu tidak akan bisa kembali ke negara asalnya.
"Orang asing masuk di sini, bangun infrastruktur misalnya. Aspal kan enggak bisa dibawa pulang kalau ada shock (tekanan) di US (Amerika Serikat)," terangnya ketika ditemui di Kantor Kementerian Perdagangan, Jakarta, Selasa (20/8).
Chatib berpendapat investasi sangatlah diperlukan untuk memacu pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen. "Karena tiap mau tumbuh agak tinggi, CAD melebar. Anda buat tumbuh kan perlu investasi. Untuk investasi anda perlu impor barang modal. Kalau impor naik, ya CAD naik kan," jelasnya.