Surabaya,Gatra.com - Federasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mendesak Kepala Polrestabes Surabaya bertanggung jawab dan meminta maaf secara terbuka.
Sebab, Kapolrestabes Surabaya diduga telah menyalahi aturan dalam menangani peristiwa pengepungan mahasiswa asal Papua di Surabaya.
Sekjen Federasi KontraS Andy Irfan mengkritik tindakan polisi yang menembakkan gas air mata dan menangkap paksa 43 mahasiswa papua dari asrama mereka di Jalan Kalasan, Surabaya, Jawa Timur.
"Sampai hari ini KontraS tidak mendengar bahwa Kapolrestabes Surabaya menyatakan diri salah dan keliru dalam mengambil tindakan diskresi di lapangan. Polisi punya diskresi, kalau dia salah, dia harus menyatakan diri salah," kata Andy di kantor KontraS Surabaya, Selasa (20/8).
Oleh karenanya, Andy mendesak permintaan maaf Kapolrestabes Surabaya secara terbuka sebagai bentuk pertanggungjawaban publik. Sebab, kata dia, polisi bertugas untuk memastikan keamanan semua warga negara.
"Mahasiswa yang berada di Asrama Papua Surabaya kerap mendapat perlakukan diskriminatif dan kekerasan, serta menjadi sasaran organisasi masyarakat (ormas) yang dinilai tidak memiliki komitmen terhadap demokrasi dan kemanusiaan," tegasnya.
"Kalau yang dilakukan (polisi) sama seperti tahun-tahun sebelumnya, kami sangat khawatir peristiwa yang sama akan terulang di tahun berikutnya, atau mungkin bulan-bulan berikutnya," ujar Arif.
Karena itu, ia meminta Polri harus berdiri lebih tegak sebagai aparatur negara yang profesional, punya harga diri dan kehormatan, serta memiliki prosedur tetap (protap) dan tata cara yang jelas.
"Itulah sesungguhnya polisi yang harus ada di Republik ini, polisi yang profesional dan akuntabel, punya kemampuan, punya kapasitas yang mampu menjaga kehormatan Republik ini," imbuh Andy.
Menanggapi hal itu, Kepala Polrestabes Surabaya, Kombes Pol Sandi Nugroho mengatakan apa yang disampaikan KontraS merupakan bagian dari kritik membangun, terutama bagi kinerja kepolisian.
"Iya, terima kasih kalau ada yang memberikan koreksi. Itu tandanya kritik itu bentuk membangun apa yang sudah dikerjakan oleh kepolisian," kata Sandi, Selasa (20/8).
Sandi juga menegaskan kalau polisi sudah mengerjakan apa yang menjadi standar dan tidak mengedepankan upaya paksa.
"Setelah demo yang dilakukan oleh ormas dari mulai jam 16.00 WIB sampai dengan jam pukul 21.00 WIB, Alhamdulillah (massa ormas) bisa kita bubarkan," ujar Sandi.
Mengenai bendera Merah Putih yang dibuang ke selokan, Sandi mengaku telah meminta kelompok ormas mengikuti prosedur hukum dengan melaporkannya ke polisi. Massa dari gabungan kelompok ormas itu, menurut Sandi, akhirnya melayangkan laporan ke polisi pada Jumat (16/8) malam.
Kemudian, pada Sabtu (17/8), pihaknya berusaha berkomunikasi dengan mahasiswa Papua yang berada di asrama. Namun, upaya negosiasi yang dilakukan sejak pukul 10.00 WIB hingga pukul 17.00 WIB itu tidak mendapatkan respons.
Sehingga, anggotanya melakukan upaya penegakan hukum dengan menembakkan gas air mata dan membawa paksa 43 mahasiswa Papua ke Mapolrestabes Surabaya untuk dimintai keterangan.
"(Upaya paksa) merupakan upaya paling terakhir setelah kita melakukan upaya-upaya dialog enggak bisa. Dan itu (negosiasi) sudah kita kerjakan dari jam 10.00 WIB sampai jam 17.00 WIB. Setelah itu, barulah kita melaksanakan upaya paksa karena sudah menjelang Maghrib," tutur Sandi.
Apabila cara yang dilakukan kepolisian dianggap salah, ia tidak mempermasalahkan dan meminta maaf kepada semua pihak yang menilainya demikian.
"Kalau itu pun dianggap salah, ya kita wallahu a'lam (Tuhan lebih tahu). Tapi manusia memang tempatnya salah dan khilaf. Dan kami juga tidak alergi untuk meminta maaf kepada siapapun kalau dianggap salah," pungkasnya.