Jakarta, Gatra.com - Pengamat perpajakan Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Bawono Kristiaji menilai, selama periode pertama kepemimpinan Presiden Jokowi, sektor pajak mendapatkan perhatian lebih.
Presiden Jokowi memiliki landasan kuat untuk perbaikan sektor pajak pada jangka panjang. Hal ini terlihat dari berbagai kebijakan, seperti program pengampunan pajak yang berdampak bagi terbentuknya masyarakat melek pajak baru dan tumbuhnya kesadaran pajak di Indonesia. Lalu, adanya akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan melalui UU No 9 yang notabene memberikan ‘modal’ utama untuk menjamin kepatuhan wajib pajak.
Selain itu, adanya peran aktif Indonesia dalam kerja sama global pertukaran informasi dan melawan praktik base erosion-profit shifting (BEPS), penerapan presumptive tax bagi WP UKM untuk memberikan kemudahan dalam menjalankan kewajiban pajak, serta agenda reformasi perpajakan 2017-2020.
Meneropong periode kedua, Bawono melihat Presiden Jokowi ingin mendorong daya saing (menarik investasi) sekaligus memobilisasi penerimaan pajak (membiayai pembangunan infrastuktur dan SDM).
"Ini diterjemahkan dalam kebijakan pemberian berbagai insentif pajak dan relaksasi," kata Bawono ketika dihubungi Gatra.com, Selasa (20/8).
Hal yang perlu dilakukan ada beberapa hal, semisal menjalankan agenda reformasi pajak secara tuntas, termasuk revisi UU di bidang perpajakan, transformasi kelembagaan otoritas pajak, perluasan basis pajak (meningkatkan jumlah WP dan memperluas objek pajak), dan mengurangi administration gap.
Meski demikian, faktanya, Indonesia selalu kesulitan dalam memungut pajak secara maksimal. Menurut Bawono, ditinjau dari sisi historisnya, upaya untuk meningkatkan penerimaan pajak dan pembenahan sistem kerap tidak optimal karena selalu adanya 'godaan' penerimaan dari sektor non-perpajakan terutama dari komoditas (SDA).
Padahal, tinggi rendahnya penerimaan dari SDA sifatnya tidak menentu dan semakin berkurang. Belajar dari pengalaman tersebut, reformasi pajak secara menyeluruh harus dilakukan demi meningkatkan tax ratio sekaligus untuk menjaga ketahanan fiskal.
Selanjutnya, kata Bawono, tingginya angka shadow economy di Indonesia. Mengutip Medina dan Scheneider (2018), angka shadow economy di Indonesia mencapai 26,6% terhadap PDB. Kuncinya adalah meningkatkan kemampuan pemerintah untuk mengumpulkan dan mengolah informasi.
"Kita juga harus menyadari bahwa baru selama 2 tahun belakangan ini otoritas pajak kita memiliki akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan dan pertukaran informasi," katanya.
Bawono menilai, saat ini Indonesia cukup tertinggal dari negara-negara lain dalam kemampuan menguji kepatuhan wajib pajak melalui data pihak ketiga. Tapi, ada hal yang patut disyukuri, yakni pada saat yang bersamaan pemerintah juga giat memperbaiki administrasi pajak untuk mengoptimalkan data/informasi.
Terlebih, adanya perubahan situasi ekonomi yang belum mampu sepenuhnya diikuti oleh UU. Sebagai contoh, adanya model binis digital, sumber aliran penghasilan yang semakin bervariasi, serta skema penghindaran pajak yang semakin kompleks. "Ini tentu memerlukan revisi UU," ucapnya.
Bawono mengemukakan, di negara lain pun untuk meningkatkan tax ratio rata-rata membutuhkan waktu yang tidak singkat. Namun, yang pasti tingkat keberhasilan dan jangka waktunya akan sangat bergantung dari berbagai faktor, mulai dari faktor ekonomi domestik dan global, karakteristik ekonomi, struktur demografi dan ketenagakerjaan, ketersediaan teknologi informasi, dan sebagainya. "Di atas semuanya, ada faktor politik yang menentukan," katanya.
Oleh sebab itu, kata Bawono, tantangan ekonomi Jokowi pada Jilid II terutama dalam mengarungi perlambatan ekonomi global, perang dagang, perubahan model bisnis, ketimpangan, perebutan modal, middle-income trap, serta menyambut datangnya era bonus demografi. "Seluruh hal tersebut bisa menciptakan dilema-dilema baru untuk mengoptimalkan penerimaan pajak," katanya.