Jakarta, Gatra.com - Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati, mengatakan, pelemahan ekonomi global pada tahun ini merupakan dampak kebijakan yang diambil pada tahun 2018, sehingga kebijakan yang akan diambil pada tahun ini juga baru akan dirasakan dampaknya pada tahun 2020.
Misalnya, kenaikan suku bunga The Federal Reserve (The Fed) pada tahun 2018, berimplikasi capital outflow di negara emerging market dan menimbulkan ketidakpastian di tahun 2019.
Baca juga: Pengusaha Optimis Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Capai 5,25%
“Ekonomi dunia menjadi lemah. Bukan karena datang sendiri, karena pengaruh yang diputuskan di 2018. Jadi di 2020, juga akan menjadi dampak dari respons dan policy dari 2019 ini,” kata Sri Mulyani di Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (20/8).
Maka dari itu, Pemerintah saat ini sedang memantau kebijakan yang akan diterapkan oleh dua negara dengan kekuatan ekonomi terbesar di dunia yakni Cina dan Amerika Serikat (AS).
Misalnya, tahun ini The Fed sudah menurukan suku bunganya, namun tidak diketahui apakah penurunan ini akan berlanjut atau tidak di tahun ini. “Kita belum tahu apakah akan ada penurunan lagi atau tidak. Ini nanti akan sangat menentukan perekonomian dunia akan berlanjut turun atau berbalik,” kata Ani, sapaan akrabnya.
Selain itu, menurut mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini, tensi perang dagang antara Cina dan AS juga merupakan faktor tersendiri yang ikut andil pada pelemahan ekonomi global. Hal ini, sudah terlihat dari melemahnya sektor manufaktur di seluruh dunia.
Baca juga: Antisipasi Pelemahan Ekonomi, BTN Siap Dorong Pertumbuhan Sektor Riil
Di samping, tensi politik di Hongkong dan Argentina juga ikut andil menambah ketidakpastian global. “Jadi nanti ini akan berpengaruh kepada apa respons policy Pemerintah Cina dan AS. Apakah mereka bisa mengembalikan ketidakpastian atau tidak,” jelasnya.
Oleh sebabnya, lanjut Ani, akrabnya, walau asumsi makro sudah diputuskan, namun dinamika global tetap harus menjadi perhatian khusus. Preseden ini telah terjadi, misal pada 2018 harga minyak Indonesia (ICP) ditetapkan U$D 38 per barel, tapi kenyataannya malah mencapai di atas U$D 60 per barel. “Hal-hal ini lah yang harus mampu kita kelolanya. Ketidakpastiannya harus kita waspadai. Itu lah yg harus kita terus lakukan,” katanya.