Home Ekonomi Neraca Perdagangan Tekor Akibat Impor Migas

Neraca Perdagangan Tekor Akibat Impor Migas

Jakarta, GATRAreview.com - Defisit perdagangan Indonesia terjadi gara-gara impor minyak dan gas (migas) yang tinggi. Padahal, Indonesia punya gas dan sumber energi yang banyak. Apa yang terjadi sebenarnya? Begitulah yang menjadi pertanyaan banyak orang, mulai dari pejabat, pebisnis hingga rakyat jelata. Salah satu sektor migas yang kini banyak disorot adalah metanol. Para anggota Kamar Dagang dan Industri (Kadin) sampai merasa perlu membahas masalah ini dengan mengadakan Focus Group Discussion (FGD) ‘Mendorong Industri Kimia Berbasis Metanol’, di Menara Kadin, Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (19/8).

Kadin Indonesia menyayangkan minimnya produksi metanol di Indonesia di tengah tingginya kebutuhan untuk bahan baku berbagai macam industri. Untuk mencukupinya, pemerintah pun mengimpor metanol. “Ironis, sebenarnya fenomena ini. Kita sudah bisa produksi sendiri, tapi masih saja harus impor. Karena produksinya lebih sedikit dari yang dibutuhkan,” kata Ketua Komite Tetap Kadin Bidang Industri Kimia dan Petrokimia, Achmad Widjadja. 

Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Peridustrian, Johny Darmawan, menyebutkan saat ini impor yang terjadi sebesar Rp174 triliun atau 53% dari total kebutuhan metanol untuk industri Indonesia. Padahal saat ini Indonesia hanya mampu memproduksi 2,45 juta ton atau sekitar 47% saja. Menurutnya, kelesuan produksi metanol dalam negeri disebabkan oleh kecilnya investasi.

Tidak hanya itu, jumlah pabrik metanol di Indonesia pun terbilang masih sangat sedikit. “Kita punya bahannya. Gampang sekali, tinggal pabrik diekspansi, kok. Kenapa kita jadi impor? Based data 2017-2018, (nilai impor) US$12 miliar, karena perbedaan kapasitas produksi dan kebutuhan domestik. Nah, kondisi ini jadi ironis. Kenapa kita enggak pikirkan. Indonesia kaya SDA," ujar Johny kepada Qanita Azzahra dari Gatra. 

Untuk mendorong peningkatan produksi metanol dalam negeri, pemerintah akan mendirikan beberapa pabrik produsen metanol. Untuk mewujudkannya, Kadin meminta pemerintah dan pihak-pihak lain, seperti para pelaku usaha, kementerian terkait, pemerintah daerah, serta konsumen, untuk bahu-membahu. Pendirian pabrik metanol, kata Johny, sangat menjanjikan dan strategis dalam mendukung sustainable industry di Indonesia dalam jangka panjang. "Ini momentum yang tepat bagi pelaku usaha untuk mendorong pemerintah mengembangkan pabrik metanol, yakni melalui pengembangan industri dan kawasan industri hulu petrokimia di sekitar kawasan yang memiliki potensi gas yang banyak seperti di Teluk Bintuni dan Blok Masela,” katanya.

Defisit Perdagangan harus dikoreksi

Plt Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Djoko Siswanto, mengatakan, defisitnya neraca dagang Indonesia akibat impor migas itu perlu dikoreksi. Menurutnya, perbandingan ekspor dan impor di sektor migas harusnya dilakukan secara tahun per tahun.

Djoko di Gedung Migas, Jakarta, Jumat (16/8), menyampaikan, untuk membuat neraca perdagangan migas mengalami surplus adalah hal yang dapat dilakukan. Caranya, dengan berhenti impor bahan bakar dan mengeskpor gas yang dimiliki, meski tentu ada risikonya. “Kalau hanya untuk memperbaiki neraca perdagangan, kita ekspor saja semua gasnya.Tapi risikonya apa kalau semua gas dieskpor? Pabrik pupuk tutup, pabrik petrokimia tutup, akhirnya semua produk petrokimia kita impor. Mau begitu?” katanya.

Menurut Djoko, seperti yang tercantum pada PP No. 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, sumber daya energi yang ada tidak hanya dijadikan sebagai komoditas ekspor semata, namun juga sebagai pembangunan nasional. “Lapangan pekerjaan itu nanti pada enggak ada kalau kita cuma fokus untuk ekspor saja. Kan karena dimanfaatkan untuk pembangunan sekarang kita punya lapangan pekerjaan untuk pabrik pupuk, pabrik petrokimia, pembangunan jaringan gas,” ujar Djoko.

Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), perkembangan ekspor migas pada Juli 2019 mengalami kenaikan sebesar 23% atau seniali US$169,7 juta. Sementara untuk total nilai impor migas bulan Juli 2019 mengalami penurunan sebesar 4% atau senilai US$55,4 juta.

“Data ini dari BPS loh ya. Jadi saya kira pemberitaannya itu harus lebih berimbang. Kita punya catatan yang positif tolong disampaikan juga ke masyarakat. Dari Juni 2019 ke Juli 2019 ini ada kenaikan 31,02% dari US$0,74 miliar ke US$1,61 miliar. Ini harus disampaikan juga ke masyarakat,” kata Djoko kepada Anjasmara Rianto Putra dari Gatra. 

Kementerian ESDM, saat ini juga sedang berupaya mengontrol impor migas dengan salah satunya penggunaan kompor listrik. Selain itu, program B20 yang direncanakan akan ditingkatkan ke B30 dan B50 pada akhir tahun 2019, secara bertahap akan ditingkatkan ke B100. Menurut Djoko, pengembangan biodiesel tersebut akan mengurangi impor solar karena digantikan oleh biodiesel yang diproduksi dalam negeri.

Rencana membangun empat pabrik metanol 

Pemerintah memang tidak berpangku tangan untuk mengatasi masalah ini, walaupun masih dalam tahap rencana. Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengatakan akan segera membangun empat pabrik baru, untuk meningkatkan produksi metanol dalam negeri. Diharapkan, nantinya angka impor metanol dapat berkurang dalam kurun waktu beberapa tahun. Sekretaris Ditjen Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil, Kemenperin, Muhammad Khayam mengatakan, empat pabrik itu yakni PT Chandra Asri II Petrochemical Tbk, PT Lotte Chemical Titan Tbk, PT Pupuk Kaltim Metanol Industri, dan satu pabrik di Bintuni.

Untuk nilai investasinya, PT Chandra Asri II Petrochemical Tbk akan dibangun menggunakan anggaran sebesar US$ 5 miliar sedangkan PT Lotte Chemical Titan Tbk sebesar US$ 4 miliar, PT Pupuk Kaltim Metanol Industri yang berada di Bontang sebesar US$ 1-2 miliar, dan pabrik di Bintan sebesar US$ 1 miliar. “Untuk nilai investasi di Chandra Asri II itu ada US$ 5 miliar, Lotte ada sekitar US$ 4 miliar. Kemudian kita sedang menyiapkan [pabrik petrokimia] Bintuni [Papua Barat] kira-kira USD1 miliar. Nah ini juga antara USD 1-2 miliar di Bontang,” kata Khayam.

Adanya empat pabrik itu, Khayam meminta industri petrokimia bisa meningkatkan produksinya, terutama metanol. Selanjutnya, investasi kemungkinan ikut melonjak. Nantinya, suplai metanol Indonesia juga akan bertambah. Produksi PT Pupuk Kaltim Metanol Industri diproyeksikan akan mencapai 660.000 ton metanol/tahun. Sementara di Bintuni, Papua Barat, diharapkan mampu memproduksi 950.000 ton metanol/tahun. “Untuk dua proyek pabrik lainnya, kami masih belum bisa memastikan secara rinci berapa produksi yang akan dihasilkan dari masing-masing pabrik itu,” kata Khayam kepada Qanita Azzahra dari Gatra. 

Tidak hanya itu, Khayam berharap, produksi metanol dalam negeri dapat meningkat hingga 1,5 juta ton per tahunnya. Lebih tinggi dari sebelumnya, yang hanya mampu memproduksi sebanyak 1,2 juta ton metanol per tahun saja.Jakarta, Gatra.com - Konsumsi migas Indonesia yang kian membesar dan tidak diimbangi dengan produksi membuat defisit neraca perdagangan pada 2018 membengkak. Tercatat di sepanjang Januari-November 2018 saja, total defisit perdagangan dari sektor migas mencapai US$12,15 miliar.

Besarnya defisit ini disebabkan meningkatkan impor migas pada periode yang sama. Perlu diketahui, sampai November kemarin total nilai impor migas Indonesia mencapai US$27,81 miliar, naik US$6,06 miliar dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. “Jadi kalau dilihat memang migasnya ini ya. Nonmigas sudah cukup bagus, cuma memang masih perlu peningkatan,” tutur Guru Besar Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur, Candra Fajri Ananda, dalam keterangan yang diterima Gatra.com, Kamis (10/1).

Neraca perdagangan nonmigas sendiri sebenarnya masih mencatatkan surplus. Setidaknya dari Januari-November 2018, neraca perdagangan sektor ini positif US$4,64 miliar. Ekspor nonmigas secara total tercatat sebesar US$150,15 miliar di 2018, naik 7,46% dibanding 2017 yang tercatat sebesar US$139,72 miliar.

Senada, Ekonom dari Universitas Indonesia (UI), Lana Soelistianingsih mengatakan, sejauh ini sektor migas lah yang menjadi penyebab neraca perdagangan Indonesia terpuruk di sepanjang 2018 kemarin. Tinggginya defisit ini disebabkan menurunnya ekspor migas dan naiknya impor migas. Sebaliknya, nonmigas masih membukukan neraca positif. “Masih ada surplus di untuk neraca perdagangan nonmigas pada 2018. Jadi, memang di bagian migas kita yang parah. Ekspor turun, ditambah impor migas kita naik. Tapi kalau dibandingkan di 2017 surplus untuk nonmigas pasti lebih besar,” tuturnya.

Menurutnya, terdapat dua faktor yang menyebabkan tekanan pada ekspor nonmigas pada 2018. Pertama, penurunan harga komoditas unggulan baik batu bara, crude palm oil (CPO), maupun karet. Padahal, 70% ekspor Indonesia masih didominasi oleh komoditas berbasis sumber daya alam.

Di sisi lain, negara tujuan utama ekspor Indonesia mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi. Menurutnya, pertumbuhan ekonomi Cina yang sebesar 6,9% pada 2017 diprediksi turun menjadi 6,7% di 2018. “Nah, itu pengaruh sekali. Jadi ada dua faktor, harga dan volume, dua-duanya turun,” ujar Lana.

Sementara itu, di sisi impor, ekonomi Indonesia tengah mengalami ekspansi, sehingga memerlukan impor yang lebih besar. Salah satunya, berbagai barang yang diperlukan untuk pembangunan infrastruktur. “Infrastruktur mau jadi, MRT kereta harus masuk ke sini kan, LRT masuk ke sini. Jadi sebagian besar impor kita memang mengalami kenaikan karena ada kebutuhan infrastruktur,” katanya kepada Didi Kurniawan dari Gatra. 

1953