Jakarta, Gatra.com - Pemerintah terus melanjutkan reformasi perpajakan, misalnya, perbaikan administrasi, peningkatan kepatuhan, serta penguatan basis data dan sistem informasi perpajakan. Ini sejalan dengan nota keuangan yang dibacakan Presiden Jokowi di DPR/MPR, Jumat (16/8).
Menurut Menteri Keuangan, Sri Mulyani, untuk meningkatkan daya saing dan merangsang investasi, pemerintah memberikan insentif perpajakan melalui beberapa instrumen. Instrumen tersebut yakni perluasan tax holiday, perubahan tax allowance, insentif investment allowance, insentif super deduction untuk pengembangan kegiatan vokasi dan litbang, serta industri padat karya. Untuk industri padat karya, terdapat fasilitas pembebasan bea masuk dan subsidi pajak.
“Kan dari sisi target ada basisnya yakni perkembangan ekonomi GDP yang kita lihat, fasilitas dan insentif yang kurangi potensi penerimaan pajak seperti Pph, Ppn, TA dan TH itu semua akan mempengaruhi penerimaan dan sisi kegiatan ekonomi,” kata Menkeu Sri Mulyani ditemui wartawann di kantornya, Senin (18/8).
Selanjutnya, pertumbuhan ekonomi yang diproyeksikan oleh pemerintah diperhitungkan dari kemampuan dalam meng-collect dan upaya Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Itu sebabnya, proyeksi angka penerimaan Pajak dan penerimaan Bea dan Cukai bukan sesuatu yang pasti. “Kalo perpajakan dengan bea cukai tentu maisng masing bukan suatu angka yang fix,” ujar menkeu Sri Mulyani.
Di samping itu, menurut Sri Mulyani, salah satu downside risk yang harus diperhatikan, ketika mengelola APBN dalam konteks instrumen pengelolaan ekonomi, yakni kondisi ekonomi global dan tantangannya. Oleh karena itu, berbagai lembaga dunia memperkirakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia akan naik menjadi 5,1%, dari target APBN sebesar 5,3 persen di 2020.
“Growth-nya adalah lebih rendah dari yang diasumsikan kita menggunakan 5,3%. Lembaga internasional memproyeksikan 5,1% ini suatu potensi down side risk,” jelasnya.
Dalam konteks penerimaaan negara, pemerintah akan terus mengelola sisi ekspektasi, effort, ekstensifikasi yang dilakukan DJP. Misalnya, bagian mana yang harus diberikan insentif perpajakan untuk mendorong roda pertumbuhan ekonomi. “kita kelola sisi ekspektasi dan effort dan ekstensifikasi dilakukan DJP. Ada bagian diberikan insentif dan colletibilitas rendah dan kita gunakan itu saja,” ucap Ani.
Lebih lanjut, menurutnya, saat ini dari sisi reformasi perpajakan pemerintah menggunakan data yang tersedia. Dibantu dengan system Automatic Exchange of Information (AEOI) atau pertukaran data antara yuridiksi. Ini akan diintensifkan komunikasi yang telah dilakukan oleh berbagai stakeholder. Tujuannya, agar pendapatan pajak tetap maksimal tanpa mengurangi kondisi iklim investasi.