Jakarta, Gatra.com - Lembaga riset Setara Institute menyebut perlunya pengawas eksternal dalam Mahkamah Konstitusi (MK). Sebab selama ini, pihak yang mengawasi lembaga tersebut hanya berasal dari internal MK saja.
Direktur Eksekutif Setara Institute, Ismail Hasani mengatakan, permintaan pengawas eksternal MK dari berbagai pihak sebenarnya sudah ada sejak lama, tepatnya setelah mantan Ketua MK, Akil Mochtar dicokok Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat terlibat kasus sengketa suap Pilkada 2014 silam.
Adapun pihak yang mewujudkan wacana pengawas eksternal MK adalah Komisi Yudisial beserta Hakim Agung. Namun, MK justru membatalkannya dengan alasan KY tidak memiliki kewenangan mengawasi hakim MK.
'Drama' pembentukan pengawas MK tak berhenti sampai di situ. Ismail menerangkan, pada saat pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), pemerintah menerbitkan Perpu setelah Akil Mochtar tertangkap, yakni KY akhirnya diberi kewenangan untuk mengawasi MK. Namun lagi-lagi, MK membatalkan Perpu tersebut.
Ismail melanjutkan, akhirnya MK pun membentuk komite atau dewan etik sendiri berdasarkan peraturan MK.
"Itu isinya tetap, satu hakim MK, satu mantan hakim MK, satu dari unsur masyarakat dan ahli hukum. Itu masih bersifat internal," kata Ismail selepas konferensi pemaparan kinerja MK di kantor Setara, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Minggu (18/8).
Padahal, lanjut Ismail, publik menginginkan pengawas eksternal. Sebab, dengan penjagaan eksternal, independensi MK akan terjaga.
Ismail mengungkapkan, DPR sendiri tidak berani melangkah lebih lanjut terkait pembentukan pengawas eksternal MK. DPR, kata Ismail, kerap kali mengeluhkan kewenangan MK yang terlalu kuat.
"Tapi tampaknya DPR tidak berani melangkah ke situ karena preseden sebelumnya, di mana MK selalu membatalkan gagasan ini. Makanya (pengawasan) tetap sifatnya internal," paparnya.
Lebih lanjut, Ismail menjelaskan masyarakat mendukung jika MK memiliki kewenangan yang kuat dalam menafsir dan mengambil keputusan di ranah konstitusional. Namun, terkait perilaku, MK tetap membutuhkan pengawas eksternal.
"Setiap orang punya potensi menyalahgunakan. Karena itu tetap diperlukan pengawas, sekalipun pascapenangkapan Patrialis tidak ada lagi (yg ditangkap)," pungkasnya. (efs)