Jakarta, Gatra.com - Mahkamah Konstitusi (MK) membuat empat norma baru dalam dua putusannya sepanjang Agustus 2018-Agustus 2019. Hal itu disampaikan dalam laporan kinerja MK yang diteliti oleh lembaga riset Setara Institute.
Direktur Eksekutif Setara, Ismail Hasani mengungkapkan, kebijakan tersebut merupakan langkah progresif yang dilakukan oleh lembaga yang dinahkodai oleh Anwar Usman itu. Ia menambahkan, setidaknya ada dua langkah pengambilan keputusan MK.
Pertama, kata Ismail, adalah Ultra Petita. Pada bagian ini, hakim MK bisa memutus melebihi apa yang dimohonkan. Namun, Ismail berujar bahwa tahun ini tak ada satupun Ultra Petita yang dikeluarkan MK.
"Tahun ini tidak ada satu pun dengan Ultra Petita, sebelumnya sering terjadi. Jadi ini suatu kemajuan disiplin MK pada kewenangan yang dimilikinya," kata dia saat konferensi di kantor Setara, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Minggu (18/8).
Kedua, lanjut Ismail, adalah Ultra Vires. Pada bagian ini, hakim memberikan terobosan hukum dengan membuat norma hukum baru.
Adapun putusan yang dibuat dengan norma baru itu terkait dengan Perjanjian Internasional dan Pemilihan Umum. Dalam Perjanjian Internasiinal ada satu norma baru, sementara Pemilihan Umum ada tiga norma baru.
Ismail menyebut, keputusan itu patut diberi bobot positif. "Sepanjang pembuatan norma baru itu tidak melangkahi kewenangan DPR, saya kira ini masih bisa saya benarkan dalam kontek judicial activism, dimana Mahkamah Konstitusi melakukan praktik-praktik yang progresif di dalam memutus perkara," tukasnya.
Sebelumnya, dalam rangka memperingati Hari Konstitusi Nasional yang jatuh pada hari ini, Minggu (18/8), Setara Institut memberikan 'rapor' kinerja MK dari Agustus 2018-Agustus 2019.
Ismail Hasani memaparkan, MK dinilai sudah berbenah sejak ditangkapnya mantan Ketua MK Akil Mochtar pada 2013 dan hakim MK Patrialis Akbar pada 2014. Hal itu tak hanya terlihat dalam pengambilan keputusan, namun juga pada batasan waktu dan perkara peradilan.
Dalam temuan Setara, MK mampu menyelesaikan Pengujian Undang-undang (PUU) kurang dari sebulan dalam empat putusannya, 1-3 bulan untuk 34 putusan, 3-6 bulan untuk 25 putusan, 9-12 bulan untuk 9 putusan, 1 tahun-15 bulan untuk 1 putusan, dan lebih daru 15 bulan untuk 2 putusan.
Selain itu, jarak antara Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH)-Pleno dalam pengujian UU rata-rata memakan waktu 1-3 bulan dalam memutus lebih dari 6 putusan.
"MK sudah menutup jual beli putusan sebagaimana yang dilakukan masa Patrialis Akbar," kata Ismail.
Selain manajemen waktu, Ismail menyoroti prosedur dismissal proses, dimana MK berhemat menggunakan anggaran negara dengan disiplin memastikan pekara tertentu. Sedikitnya ada 22 putusan Tidak Dapat Diterima hanya dalam waktu 3 kali persidangan saja.
"Dimana ada perkara yang tidak layak diperiksa oleh MK, segera diputus. Kalau dulu MK senang bersidang hingga berkali-kali, selain pemborosan uang negara, tidak hemat energi ya. Mereka membiarkan ketidakpastian hukum dalam jangka waktu yang lama," pungkasnya.