Tangerang, Gatra.com - Kapolda Metro Jaya, Irjen Pol. Gatot Eddy Nugroho mengatakan, akan memperdalam kasus intimidasi yang diduga berasal dari anggota kepolisian. Intimidasi itu terhadap empat wartawan itu terjadi saat meliput aksi buruh di depan Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Jumat (16/8).
"Jadi nanti kita lihat permasalahannya, karena saya belum lihat. Belum tahu, karena belum ada laporan secara resmi. Nanti kalau ada kita lihat dan pelajari dulu," ujarnya di kawasan BSD, Tangerang, Ahad (18/8).
Ia menyebut, aksi unjuk rasa boleh saja, namun harus tetap sesuai dengan koridor dan tidak melewati batasan. Sebab, aksi demo itu telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998.
Gatot juga menjelaskan, aksi unjuk rasa di depan Gedung DPR itu belum mendapatkan izindari pihak kepolisian. Namun, pihaknya tidak membubarkan massa tersebut, sebab unjuk rasa merupakan hak seluruh masyarakat.
"Polri juga menjabarkan di dalam peraturan kepolisian di mana salah satunya, ketika melakukan penyampaian aspirasi juga harus memberikan surat pemberitahuan dan akan diberikan izin. Ini juga harus dipedomani, batas waktu juga ada. Pukul 18.00 WIB harus sudah selesai," tambah dia.
Seperti diketahui, beberapa wartawan baik cetak, daring maupun televisi mendapat intimidasi yang diduga dari beberapa personel kepolisian saat meliput pengamanan aksi buruh di depan Gedung Parlemen. Salah satunya jurnalis dari SCTV saat merekam video menggunakan ponselnya dipukul oleh personel polisi sehingga terpental jatuh di depan kantor Stasiun TVRI.
Begitu pula dengan jurnalis dari Vivanews, saat merekam aksi polisi membubarkan paksa pengunjuk rasa buruh menggunakan ponselnya, tiba-tiba seorang anggota meminta hasilnya untuk dihapus. Jika tidak diberikan, maka wartawan tersebut akan dibawa ke mobil. Padahal, ia sudah menjelaskan bahwa dirinya seorang wartawan.
"Hapus video tadi, kalau enggak saya bawa ke mobil," kata Jurnalis Viva yang menirukan anggota polisi berbaju putih dengan emosi.
Begitu juga wartawan foto Bisnis Indonesia, Nurul Hidayat mendapatkan perlakukan yang sama, ketika sedang mengabadikan para buruh yang diamankan ke dalam mobil tahanan oleh polisi.
"Ketika motret para buruh yang dibawa masuk ke mobil tahanan, tiba tiba petugas ada yang turun suruh hapus foto tersebut. Sempat adu mulut, saya mempertahankan foto, sampai akhirnya temannya datang. Dia bilang saya bawa juga," katanya.
Wartawan foto dari Jawa Pos, Miftahul pun mendapatkan perlakukan yang lebih parah dari anggota polisi ketika mengabadikan para demonstran yang dibawa masuk ke dalam mobil tahanan di depan gedung TVRI. "Saya ditarik bajunya, dihapus fotonya," kata Miftah.
Ia menirukan omongan polisi, "Dihapus juga video dan foto. Tunggu rilis. Kamu jangan sewenang wenang. Lo, Gua lihat dari tadi foto-foto video. Lo mau hapus atau gua kandangin.
Wartawan Inews TV pun juga mendapat perlakuan yang sama dari ketika melakukan kegiatan peliputan masa aksi yang berkumpul di depan TVRI. "Hapus videonya, ntar ada preskon," ujar wartawan Inews.