Pekanbaru, Gatra.com - Alis mata lelaki 46 tahun ini mengernyit saat membaca satu persatu poin yang ada pada lembaran draft Peraturan Presiden Tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia itu.
Semakin dibaca, ayah dua anak ini menarik napas panjang, apalagi saat membaca poin yang paling menohok di lembaran yang cuma 14 halaman itu. "Ini sudah enggak bener namanya. Kalau peraturan ini jadi, sama saja membunuh petani kelapa sawit," dengus Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (DPP-APKASINDO) ini, Sabtu (17/8).
"Kita sudah 74 tahun merdeka, masa urusan hutan-non hutan ini jadi menyeret kita --- khususnya petani kelapa sawit --- ke zaman penjajahan 'versi kehutanan'? Saya yakin Presiden tidak mendapatkan infomarmasi yang sesungguhnya tentang petani yang masih terjebak dalam kawasan hutan yang pada kenyataannya sudah dominan tidak ada tegakan pohon hutan lagi. Makanya draft ini muncul," wajah Gulat Medali Emas Manurung, nampak benar-benar kesal.
Gulat tak menampik bahwa sudah banyak regulasi yang muncul tentang tatacara pelepasan kebun kelapa sawit dari kawasan hutan, tapi faktanya, regulasi itu sama sekali tidak pernah sampai dan menyentuh petani.
"Kenapa sampai seperti itu? Karena organisasi yang memayungi petani kelapa sawit sama sekali enggak pernah dilibatkan dalam membuat kebijakan yang berkaitan dengan petani kelapa sawit. Lihat saja rencana Perpres Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) ini, objeknya petani sawit, tapi petani sawit nya enggak pernah diminta pendapat. Tapi kemudian ujuk-ujuk keluar peraturan yang kadang-kadang sudah seperti lomba cipta. Orang belum sempat memahami peraturan lama, peraturan baru sudah nongol pula," kata Gulat mulai berang.
Gulat enggak habis pikir kenapa peraturan yang dia bolak-balik tadi sampai mengharuskan petani kelapa sawit mengantongi sertifikat Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), padahal di Peraturan Menteri Pertanian nomor 11 tahun 2015 tentang Sistem Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia, aturan semacam itu enggak ada.
'Di draft itu disebutkan bahwa salah satu syarat petani mengantongi sertifikat ISPO adalah kebun kelapa sawit tidak berada di kawasan hutan. Ini kan nyeleneh namanya, sebab faktanya sekarang lebih dari 50 persen kebun petani kelapa sawit ada di kawasan hutan. Apa enggak membunuh namanya ini? Sebab jika syarat itu dipaksakan, maka nasib petani kelapa sawit di kawasan hutan akan berakhir tragis lantaran sawitnya enggak laku," ujar Gulat saat berbincang dengan Gatra.com Sabtu (17/8).
Gulat mencontohkan, di saat Permentan No 11 Tahun 2015 Tentang ISPO berlaku, petani kelapa sawit tidak wajib mengantongi sertifikat ISPO, Pabrik Kelapa Sawit (PKS) sudah banyak menolak hasil panen petani, "Apalagi kalau sudah wajib punya sertifikat ISPO, entah apalah yang akan terjadi," katanya.
"Saya ini auditor resmi ISPO, saya sangat paham kemana arahnya Draft peraturan ISPO ini, sasarannya petani kelapa sawit, ada apa ini? Siapa sutradara dibalik ini semua?" sergah Gulat.
"Kalau tim penyusun draft Perpres ISPO ini masih ngotot juga membikin draft ini jadi Perpres, kami APKASINDO di 22 provinsi dan 116 kabupaten/kota akan membuat surat terbuka kepada Presiden Jokowi, supaya rencana Pepres ini ditunda dulu sampai persoalan petani kelapa sawit dalam kawasan hutan beres. Selesaikan dulu persoalan petani dalam kawasan hutan, baru terbitkan Perpres ISPO, kalau itu belum beres, kami petani sawit belum siap," tegas Gulat.
Pakar perhutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), Sudarsono Soedomo, PhD cuma bisa geleng-geleng kepala terkait sertifikat ISPO itu. Bahwa kalau petani mau mengantongi sertifikat ISPO, kebun kelapa sawitnya tidak berada di kawasan hutan.
"Sampai hari ini Kawasan Hutan masih menjadi persoalan. Kalau persoalan ini enggak diselesaikan, sama saja membunuh petani. Sebab Tandan Buah Segar (TBS) petani kelapa sawit di kawasan hutan enggak akan laku lantaran tak mengantongi sertifikat ISPO. Yang menjadi pertanyaan kemudian, apa manfaat yang didapat pemerintah dari aturan semacam itu?" ujar Sudarsono kepada Gatra.com Sabtu (17/8).
Dan sebenarnya kata Sudarsono, awal kelahiran ISPO (Permentan No 11/2015) itu sudah disebutkan bahwa petani di kawasan hutan enggak perlu di persoalkan. Tapi belakangan kawasan hutan sudah diseret-seret pula menjadi persoalan petani.
"Sudah berkali-kali saya katakan bahwa kawasan hutan kita masih bermasalah. Bahwa pengukuhan kawasan hutan di Indonesia masih sangat minim, masih sangat banyak kawasan hutan yang cuma sampai pada penunjukan. Kalau dihitung-hitung ada sekitar 84-85 persen. Sebab kawasan hutan yang benar itu adalah kawasan hutan yang sudah melewati proses Penunjukan, Pemetaan, Penataan batas dan Penetapan. Ini sesuai pasal 15 UU 41 tahun 1999 tentang kehutanan. Lalu apakah kemudian kawasan hutan yang bermasalah ini dipaksakan untuk dipatuhi petani? Jangan begitulah," tegas Sudarsono.
Sudarsono kemudian mengingatkan tentang azaz yang dianut oleh UU 5 tahun 1960 tentang pokok agraria bahwa lahan negara adalah lahan yang tidak diklaim oleh siapapun. "UU ini masih berlaku lho," katanya.
Mestinya pemerintah kata Sudarsono berterimakasih kepada para petani yang sudah membikin lahan-lahan terlantar menjadi lahan produktif. Dan petani tidak meminta-minta kepada siapapun, semua usaha sendiri. "Jadi, jangan setelah petani membuat lahan yang diterlantarkan itu menjadi produktif, diksi kawasan hutan dibikin untuk menakut-nakuti," ujar Sudarsono.
Mantan Direktur Jenderal Perkebunan, Pro.Dr. Agus Pakpahan, tak menampik apa yang dikatakan oleh Sudarsono tadi. Dia menyebut bahwa filosofi ISPO adalah guide line, standar perkebunan kelapa sawit berkelanjutan.
Dalam ISPO itu, ada norma yang musti dijalankan, bahwa kebun petani tidak di kawasan hutan. "Tapi persoalannya adalah, kawasan hutannya bermasalah. Lalu ada norma di UUD 45 bahwa kekayaan yang ada di negara ini dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat," kata Agus kepada Gatra.com Sabtu (17/8).
Kalau kemudian norma di UUD 45 itu begitu adanya, apakah kemudian bisa dikalahkan oleh peraturan menteri yang hanya lokal teknis? "Enggak mungkin. Sebab ISPO enggak ada undang-undangnya, yang ada cuma peraturan menteri. Jadi, jangan memaksakan aturan lah," pintanya.
Kalau pemerintah berpihak kepada petani kata Agus, tidak perlu ada syarat kebun di kawasan hutan atau tidak di kawasan hutan. "Apalagi kawasan hutan yang belum ditetapkan. Akan lebih baik selesaikan dulu persoalan intinya," ujarnya.
Yang membikin Agus menjadi heran, kenapa hanya kelapa sawit yang musti ada sertifikat berkelanjutan? Kenapa karet, kopi, coklat, kelapa tidak dibikin sustainable? "Ada apa ini? Kok tanaman paling memberi devisa malah yang diobok-obok?" katanya.
Lalu soal status tanaman. "Apa bedanya sawit dan karet? Toh dua tanaman ini sama-sama bukan tanaman asli Indonesia. Karet ditetapkan oleh menteri sebagai tanaman hutan, kenapa kelapa sawit tidak? Tetapkan saja kelapa sawit jadi tanaman hutan, beres. Yang penting tidak bertentangan dengan tujuan produksi," pintanya.
Biar persoalan ini tidak berlarut-larut kata Sudarsono, Presiden Jokowi musti tegas. "Presiden musti paham betul tentang apa yang terjadi dengan perhutanan di Negeri ini. Sebab kalau dibiarkan berlarut-larut, ini akan menjadi masalah besar," Sudarsono mengingatkan.
Abdul Aziz