Jakarta, Gatra.com - Polri menanggapi pernyataan Yayasan Teratai Hati Papua yang menyebut adanya dugaan kekerasan kepada warga Nduga, Papua hingga ada yang meninggal dunia.
Pada kesempatan sebelumnya Direktur Yayasan Teratai Hati Papua, Pater Jhon Jongga meminta Presiden Joko Widodo untuk menarik pasukan TNI/Polri yang berada di Nduga, Papua. Tak hanya diduga melakukan kekerasan, ia menilai TNI-Polri sebagai aktor utama dari ketidakstabilan yang terjadi di wilayah Nduga sehingga mengakibatkan ribuan orang mengungsi.
Atas pernyataan itu, Polri meminta kepada Tim Kemanusiaan Nduga tidak sekadar berasumsi.
"Bisa dibuktikan enggak? Kalau punya bukti dilaporkan. Jadi enggak boleh berasumsi tapi harus berdasarkan bukti," kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Brigjen Pol Dedi Prasetyo di Mabes Polri, Jumat (15/8).
Dedi mengklaim kehadiran TNI-Polri justru memberikan rasa aman terhadap masyarakat di wilayah tersebut. Ia menjelaskan sebelum TNI/Polri hadir, wilayah Nduga dikuasai secara masif oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB). Wilayah tersebut menjadi tidak kondusif karena rentan terhadap berbagai jenis kejahatan.
"Pemerasan, intimidasi, penganiyaan, pembunuhan, pemerkosaan dilakukan oleh kelompok tersebut," ucap Dedi.
Selain itu KKB menurutnya juga membangun markas di Nduga. Namun saat ini sudah diambil alih oleh TNI-Polri.
"Karena ini menyangkut kedaulatan negara. Negara harus hadir dan memberikan jaminan keamanan," ucap Dedi.
Sebagai informasi, hasil investigasi dari Tim Kemanusiaan Nduga menunjukan banyak masyarakat sipil di Nduga, Papua menjadi korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) oleh pasukan TNI-Polri. Dugaan kekerasan dan pelanggaran HAM itu disebabkan karena aparat tidak dapat membedakan masyarakat sipil dan pihak Organisasi Papua Merdeka (OPM).
"Jadi tarik [pasukan] TNI itu, atau bahasa Papuanya ini program nasional mau bangun infrastruktur, Apakah gali tanah lebih penting dari nyawa? Saya yakin Jokowi enggak bodoh, hanya saja karena dia punya lingkaran di luar seperti itu," ujar Peter.
Sementara itu korban meninggal atas pelanggaran HAM di Kabupaten Nduga, Papua, ditaksir berjumlah 182 orang. Data itu diperoleh dari Direktur Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua, Theo Hasegem.
Theo menjelaskan penyebab warga yang meninggal itu beragam. "Meninggal karena sakit, hidup lama di hutan. Melahirkan dan meninggal tidak ada pertolongan medis. Ada yang meninggal karena lapar," katanya.