Jakarta, Gatra.com- Saat berpidato dalam Sidang Paripurna, Jumat (16/8), Ketua MPR, Zulkifli Hasan merekomendasikan adanya kesepakatan sistem perencanaan pembangunan nasional.
Melalui Garis-Garis Besar Halauan Negara (GBHN), akan terdapat perubahan pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Tentunya ini membawa dampak positif dan negatif.
Menanggapi hal tersebut, Pengamat Politik dari Universitas Paramadina, Hendri Satrio menganjurkan pemerintah dan MPR untuk menganalisis terlebih dahulu apakah GBHN penting atau tidak untuk bangsa ini.
"Di zaman Orba, supaya Presiden Soeharto dapat melakukan pembangunan berkesinambungan 5 tahun sekali. Untuk saat ini belum urgent tetapi perlu. Namun tidak dalam lima tahun ke depan," katanya kepada Gatra.com, Jumat (16/8).
Ia menjelaskan, tahun ini, Joko Widodo memiliki Nawacita Jilid 2 setelah tahun 2024. Hendri berujar, masih terlalu jauh untuk menerapkan GBHN. Kemungkinan dapat diimplementasikan pada 2024.
"Ada dua hal [yang perlu diperhatikan]. Mundur ke arah sebelumnya atau maju untuk masa depan. Positifnya, [dapat] mengatur pembangunan digital, industri, dan pendidikan," ujarnya.
Menurutnya, dampak buruk GHBN, membuat MPR memiliki kekuasaan lebih daripada presiden. Dapat menyebabkan presiden dapat dipilih dan diberhentikan oleh MPR.
"Ini sebuah kemunduran, walaupun di pancasila [sila keempat] menggambarkan permusyawaratan dan perwakilan. [Oleh karena itu], alangkah baiknya pemilihan langsung dapat dilakukan. [Terutama] tanpa parliamentary threshold, sehingga tidak terpecah. Masyarakat bisa berpartisipasi aktif memilih presiden," ucap Hendri.
Senada dengan pendapat Sekjend Partai Nasdem, Johnny G Plate yang menyebut, sekarang terlalu dini karena halauan negara perlu ada. Salah satunya, seputar pemilihan presiden dan kepala daerah. Ia optimis, pemilihan umum dapat dilakukan lebih baik.
"Salah satu yang penting, Indonesia tidak punya halauan jangka panjang yang punya kewenangan imperatif, sifatnya fakultatif. Tergantung visi dan misi presiden. Melihat itu, dampaknya stimulus. APBN tidak fokus dalam jangka panjang. Pemda dan Pempus [Pemerintah Pusat] tidak seirama. Waktu terbuang percuma," katanya, Senin (12/8).