Home Ekonomi Sejumlah 51,8% Rakyat Indonesia Hidup Tak Layak

Sejumlah 51,8% Rakyat Indonesia Hidup Tak Layak

Jakarta, Gatra.com - Hasil riset yang dialkukan Megawati Institute bekerja sama dengan Sigma Phi menunjukkan bahwa sebanyak 137 juta penduduk atau 51,8% penduduk Indonesia hidup tidak layak karena kebutuhan dasarnya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 belum terpenuhi.

M Nalar dari Tim Riset Sigma Phi mengungkapkan bahwa pihaknya menggunakan 6 indikator menghitung hak-hak dasar (basic rights) seperti kesehatan, pendidikan, pekerjaan, pangan, air minum, dan perumahan yang layak.

"Sayang sekali kata-kata merdeka yang diteriakkan hanya kata-kata kosong. Ada 51,8% penduduk yamg belum sepenuhnya merdeka," kata M Nalar saat menyampaikan presentasi hasil riset lembaganya di Hotel Mercure Sabang, Jakarta, Kamis (15/8).

Baca juga: PKB: Gagasan NKRI Bersyariah Sebaiknya Jangan di Indonesia

Nalar menjelaskan, sejumlah 137 juta penduduk Indonesia tersebut memenuhi setidaknya satu indikator yang tidak layak. Adapun data dan indikator yang digunakan mengacu pada hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) pada Maret 2018 lalu.

Dari hasil Susenas, Tim Riset Sigma Phi menemukan bahwa sebanyak 5,9 juta orang tidak memiliki akses pekerjaan yang layak, 4,2 juta anak usia sekolah tidak mendapat pendidikan yang layak, 9,6 juta orang tidak memiliki akses kesehatan yang layak, 63,7 juta orang tidak memiliki akses pangan yang layak, 8,2 juta orang tidak memiliki akses air minum yang layak, 97 juta orang tidak memiliki akses perumahan yang layak.

"Karena ada dua masalah besar perumahan dan pangan, maka pemerintah harus fokus untuk mengatasinya," ujarnya.

Berdasarkan perhitungan persentil dalam data Susenas, garis hidup layak berdasarkan riset ini sebesar Rp842.046 yang setara dengan 51,8% masyarakat yamg hidup tidak layak atau jauh lebih tinggi dari garis kemiskinan BPS sebesar Rp425.250 per Maret 2019.

"[Garis hidup layak] jangan dianggap jadi ukuran [standar] karena kalau jumlah penduduk tidak layak semakin kecil, maka angkanya juga semakin kecil," katanya.

Islam berpendapat, keunggulan metode ini adalah hak dasar tidak bisa ditawar lagi, sedangkan kalau dasarnya kebutuhan dasar dapat berbeda bagi tiap orang.

Direktur Eksekutif Megawati Institute, Arif Budimanta, menambahkan bahwa konsep garis kemiskinan yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) belum cukup untuk menggambarkan kondisi hidup layak masyarakat Indonesia. 

Selama ini, BPS menggunakan kebutuhan dasar untuk hidup (basic needs) dalam perhitungannya. "Basic needs ketidakmampuan orang memenuhi kebutuhan makanan dan nonmakanan. Basic rights melihatnya ada 6 akses sesuai amanat konstitusi [UUD 1945]," ungkapnya.

Baca juga: Prabowo: Saya Ingin Rakyat Indonesia Sejahtera Sebelum Dipanggil Yang Maha Kuasa

Arif berharap hasil riset ini dapat memperbaiki proses penyaluran bantuan sosial agar lebih tepat sasaran.

Sementara itu, budayawan M Sobari berpendapat bahwa hasil riset ini merupakan teori yang spekulatif mengenai kemisikinan di Indonesia.

"Approach [pendekatan] ini bukanlah berdasafkan basic needs at basic rights, tapi approach berdasafkan maaslah struktural," ujarnya.

2337