Jakarta, Gatra.com - Ombudsman RI (ORI) menilai, adanya unsur ketergesaan mengenai aturan International Mobile Equipment Identity (IMEI) dalam Rencana Peraturan Menteri (RPM), yang akan ditandatangani pada Sabtu (17/8) mendatang.
Menurut Anggota ORI, Alvin Lie, RPM yang terdiri dari 17 pasal tersebut, substansi di dalamnya terkesan mengada-ada. Tidak hanya itu, aturan yang diterapkan tidak diatur secara rinci.
"Rencana Peraturan Menteri ini terkesan mengada-ada. Ada 17 pasal lagi di dalamnya, yang ke semuanya tidak substansif. Malah kesannya ecek-ecek," kata Alvin dalam acara Ngopi Bareng Ombudsman, di kantor ORI, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (15/8).
Sementara itu, Senin (12/8) lalu, ORI telah melakukan pemanggilan terhadap Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) untuk memberikan penjelasan terkait rencana pembatasan IMEI tersebut. Dari pemanggilan itu, Alvin mengatakan, tujuan dari tiga kementerian, Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Kementerian Perdagangan (Kemendag), dan Kominfo ialah untuk mengamankan pendapatan negara.
Jika begitu, maka menurut Alvin, ketiga kemeterian tidak perlu melakukan pembatasan terhadap IMEI. Karena pada akhirnya, pembatasan itu dapat menimbulkan kerepotan bagi Masyarakat Indonesia. Selain itu, dengan orang asing atau wisatawan yang akan datang ke Indonesia.
"Ternyata, kalau tujuannya untuk mengamankan pendapatan negara, pembatasan ini tidak tepat. Karena bea masuk HP saja sudah 0%. Ini untuk apa? Hanya akan menimbulkan kerepotan bagi masyarakat saja," ujar Alvin.
Lebih lanjut, Anggota ORI itu menyarankan kepada pemerintah, agar menambah pengaturan di hulu, melalui Penambahan Pajak Penambahan Nilai (PPn) dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM).
"Kenapa tidak dikendalikan di hulunya saja? Melalui Dirjen Pajak dan Dirjen Bea Cukai. Dengan menambah PPn dan PPnBM misalnya,"ujar Alvin.