Jakarta, Gatra.com -- Pengamat Hukum Tata Negara, Bvitri Susanti menegaskan bahwa saat ini agenda untuk amandemen UUD 1945 terkait Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) tidak tepat dengan sistem tata negara yang dianut oleh Indonesia.
"GBHN tidak relevan dengan sistem tata negara sekarang, karena sekarang presiden tidak dipilih oleh MPR bahkan MPR juga bukan lembaga tertinggi lagi. Hak tertinggi sekarang ada masyarakat," ujarnya saat diskusi media Amandemen Konstitusi, Kepentingan Rakyat atau Berebut Kuasa, di Upnormal Jakarta, Rabu (14/8).
Menurutnya amandemen konstitusi harus berdasarkan kepentingan rakyat dan kepuasan publik. Jika melihat dari tuntutan pada1997-1998, mahasiswa mewakili masyarakat juga telah meminta amandemen konstitusi.
"Jadi sekarang ini timbul pertanyaan, amandemen untuk kepentingan siapa?" katanya.
Bvitri mengatakan terdapat dua argumen yang mendasari tidak perlunya amandemen. Pertama karena amandemen UUD 1945 saat ini tidak ditujukan untuk kepentingan masyarakat. Alasan berikutnya karena amandemen tidak memiliki dampak dan implikasi konkret pada kehidupan bernegara.
"Tidak salah ketika nanti kita bertanya apa kepentingan di balik ini semua? Kok pengen diadakan, padahal amandemen tidak mudah. Dampak untuk rakyat apa? Jangan-jangan ada agenda lain daripada ini," ucapnya.
Saat ini, lanjut Bvitri, partai politik mengeluhkan bahwa penggantian presiden berarti juga terjadi pergantian program kerja. Padahal menurutnya pandangan tersebut keliru karena program kerja dapat dilanjutkan oleh pemerintah berikutnya dan pergantian presiden tidak lain konsekuensi dari negara demokrasi.
"Kalau sampai kesimpulannya langsung karena pergantian presiden, pergantian program kerja itu karena tidak ada GBHN, maka itu namanya simpulan yang lompat terlalu jauh," katanya.
Bvitri mengatakan untuk menjalankan sebuah program kerja, GBHN tidak selalu menjadi acuan. Saat ini sistem tata negara kita sudah memiliki Rancangan Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan Rancangan Pembangunan Jangka Menengah (RPJM).
"RPJP punya indikator dan sebagainya bahkan ada tolak ukur keberhasilan. Dari segi proses RPJP itu lebih partisipatif sementara GBHN hanya dibuat oleh MPR saja," ia menambahkan.
Bvitri mengatakan bahwa amandemen konstitusi ibarat membuka kotak pandora. Di dalamnya, terangnya, tidak hanya agenda GBHN saja yang menjadi bahan, tapi juga isu lainnya seperti pemilihan dan pemberhentian presiden yang dilakukan oleh MPR.
"Kami percaya konstitusi bukan kita kunci tapi boleh saja diamandemen. Syarat parameternya dua, harus memenuhi tuntutan rakyat. Kedua, ada implikasinya. Ketika presiden melenceng dari GBHN terus karena tidak ada implikasi hukum kan presiden juga tidak bisa diapa-apain," tutupnya.