Home Ekonomi Upaya Menuju Kemerdekaan Peternak Indonesia

Upaya Menuju Kemerdekaan Peternak Indonesia

Jakarta, GATRAreview.com - Musim Lebaran Kurban tentu membawa banyak berkah bagi umat Islam. Menurut Kepala Lembaga Pemberdayaan Ekonomi Mustahik (LPEM), Ajat Sudrajat, setiap penyelenggaraan ibadah kurban, terbuka luas pasar hewan yang jelas waktu dan besar kebutuhannya. Karena itu bisa menjadi pedoman para peternak mengembangkan usaha dengan orientasi memenuhi kebutuhan hewan kurban. Permintaan hewan kurban setiap tahun juga tumbuh seiring dengan peningkatan pendapatan dan kesejahteran kaum muslim. Pada 2012, jumlah kelas menengah muslim sudah mencapai 60 juta jiwa dan akan terus berkembang. Jika ada 10 persen dari 60 juta penduduk tersebut berkurban, maka akan ada kebutuhan hewan kurban sebanyak 6 juta ekor.

Ini pasar yang besar. Peternak kecil harus didorong untuk memenuhi kebutuhan pasar tersebut, ujar dia. Kebutuhan hewan kurban ini, menurut Ajat membawa potensi untuk membangun 4.500 titik pusat pengembangan peternakan pada tiap kecamatan di Indonesia. Dampaknya akan memberikan pemerataan sentra produksi, pemberdayaan peternak, serta pemerataan pasar hewan, katanya. Secara makro akan ada dampak positif lain, yaitu penyeragaman harga di tingkat peternak maupun pasar. Sebelumnya, harga di tingkat peternak biasanya lebih rendah daripada jika sudah berada di pasar.

Musim lebaran Idul Adha ini juga mendapat sambutan dari Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) mendorong kemerdekaan peternak-peternak Indonesia, terutama di kawasan pedesaan untuk bisa mencapai kesejahteraan dengan menginisiasi program Kurban Berdayakan Desa. Deputi BAZNAS, Arifin Purwakananta mengatakan ibadah kurban menyimpan potensi ekonomi yang tinggi, menjanjikan perputaran uang dalam jumlah yang besar yang bisa dinikmati peternak jika didukung dengan sistem yang baik. "Kemerdekaan bagi peternak ialah jika mereka dapat menikmati hasil yang layak dari jerih payah sendiri. Potensi itu sangat besar pada momentum kurban," katanya.

Program “Kurban Berdayakan Desa” akan dilakukan dengan bukan hanya melayani pekurban beribadah namun juga memiliki nilai tambah untuk bagi kesejahteraan peternak. Caranya dengan membeli langsung hewan-hewan kurban pada peternak kecil, menyembelih dan mendistribusikan dagingnya pada lingkungan mereka. Jadi ternak mereka terbeli dan mendapatkan asupan gizi. Secara ekonomi dan kesehatan, kurban memberdayakan mereka, kata Arifin.

Peternak akan semakin bersemangat berproduksi karena pasarnya sudah ada di lokasi produksi. Selain itu, peternak akan mendapatkan harga yang wajar dan adil, kata dia. Ajat menambahkan dengan program “Kurban Berdayakan Desa”, BAZNAS menginginkan peternak di desa menerima langsung dana hasil penjualan ternaknya dari pekurban. Ternak tidak masuk ke rantai pemasaran yang panjang sehingga tidak ada kesenjangan harga akibat aksi ambil untuk para pedagang besar.

Peternak juga tidak menanggung beban transportasi, ujar dia. Pada 2017, dengan asumsi ada 1 juta ekor hewan kurban dengan harga Rp2 juta per kambing, maka akan potensi transaksi sebesar Rp2 triliun. Jika semuanya membeli ternak di desa, maka akan ada distribusi pendapatan dari kota ke desa yang besar. Sehingga ada peningkatan pendapatan peternak.

Selain penjualan ternak, program ini juga membuka potensi bagi industri kecil yang melakukan pengolahan hasil peternakan dan hasil samping peternakan. Mulai dari daging olahan, kulit hingga limbah hewannya.

Sistem bagi hasil 

Direktur Indonesia Development and Islamic Studies (IDEAS), Yusuf Wibisono, menilai bahwa sistem bagi hasil merupakan bentuk permodalan yang paling sesuai bagi para peternak.Sistem ini telah menjadi kearifan lokal peternak sejak lama. “Peternak lebih cocok bagi hasil karena mampu mengakomodir risiko lebih tinggi. Salah satu isu besar peternak rakyat bagaimana terjadi kegagalan yang besar mereka bisa adsorb [serap permodalan],” ungkapnya di sela-sela Diskusi Publik “Ekonomi Kurban 2019 dan Wajah Gurem Peternakan Rakyat” di Pejaten, Jakarta Selatan, Jumat (9/8).

Pihaknya mendefinisikan peternak gurem memiliki jumlah ternak besar yakni sapi atau kerbau sebanyak 1-2 ekor atau jumlah ternak kecil (domba atau kambing) sebesar 1-4 ekor. Yusuf berpendapat, akses peternak terhadap permodalan masih sulit karena tidak sesuai dengan nature (sifat) sektor peternakan. Hal ini disebabkan hasil ternak seringkali memerlukan waktu untuk dapat diambil hasilnya, misalnya sapi potong yang memerlukan waktu hingga mencapai bobot dan usai tertentu. Belum lagi risiko penyitaan aset atau jaminan apabila peternak tidak mampu membayar. “Meskipun sudah banyak perbankan syariah, sistem ini masih belum banyak dipakai. Kalau belum berhasil, ini [kearifan lokal] bukti kuat kenapa masih banyak orang menjalankan skema bagi hasil,” ungkapnya.

Yusuf mendorong lembaga-lembaga sosial untuk menyalurkan dananya kepada peternak-peternak rakyat yang masih rentan. “Kalau perbankan mau enggak mau harus bayar, nanti bisa sita aset atau jaminan. Selamanya nanti dianggap enggak capable [mampu] terus. Menurut kami, lingkaran setan harus diputus dengan peningkatan kapasitas dan konsistensi [peternak],” ujarnya.

Sementara itu, peneliti muda dari IDEAS, Fajry Azhari, mengatakan bahwa dalam sistem bagi hasil, hasil yang didapatkan dibagi dua antara pemilik dan penggembala. Selama ini, peternak hanya mendapat keuntungan sedikit dibandingkan oleh perantara. Fajry mengungkapkan, usaha peternakan rakyat melibatkan hingga 13 juta rumah tangga usaha peternakan (RTUP) berdasarkan hasil sensus pertanian tahun 2013. Mengutip data dari Kementerian Pertanian, ia menjelaskan, populasi sapi potong diperkirakan 17 juta ekor, sapi perah 550 ribu ekor, kerbau 1,4 juta ekor, kambing 18,7 juta ekor, dan domba 17,4 juta ekor. “Di Indonesia, sebagian besar hewan ternak dikembangbiakkan secara tradisional oleh rumah tangga peternak. Lebih bdari 90% hewan dikembangbiakan secara tradisional oleh peternak,” ujarnya kepada Syah Deva Ammurabi dari Gatra. 

Peternakan Gurem

Indonesia Development and Islamic Studies (IDEAS) menilai peternakan rakyat di Indonesia masih jauh dari skala ekonomis. Hal ini menjadi potret wajah gurem peternakan rakyat Indonesia. Peneliti IDEAS, Fajry Azhari memaparkan skala usaha peternakan rakyat sangat rendah. Sapi potong rata-rata hanya 3,2 ekor per Rumah Tangga Usaha Peternakan (RTUP), sapi perah 3,7 ekor per RTUP, kerbau 3,6 ekor per RTUP, kambing 6,6 ekor per RTUP, dan domba 25,8 ekor per RTUP. “Tidak tercapainya skala ekonomi, biaya produksi cenderung tinggi, pasokan ke pasar tidak bisa dilakukan regular, dan sering tidak mampu memenuhi permintaan pasar yang besar,” jelas Fajry di Jakarta, Jumat (9/8).

IDEAS mendefinisikan peternak gurem sebagai peternak yang memiliki jumlah sapi/kerbau 1-2 ekor atau domba/kambing 1-4 ekor. Mengutip hasil sensus Pertanian 2013, peternak gurem pada peternak sapi/kerbau sebesar 56% dan domba/kambing 54%. “Dalam lima tahun terakhir, kesejahteraan petani yang diukur dengan nilai tukar peternak (NTP) mengalami stagnasi,” tuturnya. Kenaikan NTP lebih sering terjadi menjelang perayaan Idul Adha, namun penjualan hasil ternak kurban sebagian besar dinikmati oleh perantara.

Direktur IDEAS, Yusuf Wibisono mengaku belum riset mendalam terkait skala ekonomi yang cukup ideal. Namun, Ia memprediksi skala ekonomi yang ideal mendekati 100 ekor ternak yang sulit untuk dicapai kebanyakan peternak di mana semakin besar akan menghasilkan efisiensi produksinya yang semakin tinggi. “Menurut kami [masalah peternak] lebih ke skala usahanya. Karena meskipun misalnya biaya produksi tinggi, pakan tinggi, tapi kalau dia bener-bener bisa besar dan efisiensi yang bagus itu mungkin masih bisa berjalan cukup baik,” terangnya kepada Syah Deva Ammurabi dari Gatra. 

Kondisi Peternakan di Daerah

Bupati Purbalingga, Dyah Hayuning Pratiwi, menyatakan peluang ternak di Purbalingga baru termanfaatkan sebesar 25-30 persen dari potensi pakan yang tersedia. Potensi pakan itu mestinya bisa diubah menjadi peluang bagi masyarakat. Menurut dia, saat ini baru ada 53 ribu hewan ternak dari seharusnya sebanyak 222 ribu ekor hewan ternak. Ketersediaan pakan yang melimpah itu bisa dikonversi untuk memenuhi kebutuhan protein hewani masyarakat yang permintaannya terus naik. “Peluang dan potensinya masih sangat besar. Karena baru ada 25-30 persen unit hewan ternak yang ada di Purbalingga,” kata Tiwi, dalam kontes hewan ternak di Purbalingga, Selasa (23/7).

Melihat potensi pakan yang besar, Tiwi mengajak warga Purbalingga untuk menjadi peternak. Terlebih, plasma nutfah Purbalingga telah diakui secara nasional. Misalnya, sumber daya genetik kambing Kejobong. “Sehingga gaung peternakan di Purbalingga sudah diakui diluar dan hal itu bisa terus untuk dikembangka,” ujarnya. Dia mengungkapkan, ternak asal Purbalingga juga kerap menjuarai kontes kambing etawa tingkat nasional. Untuk itu, ia meminta agar sumber daya yang ada itu harus terus dikembangkan.

Sementara, Kepala Dinas Pertanian Purbalingga, Mukodam, mengatakan bahwa 56 persen lahan di Purbalingga merupakan lahan pertanian. Dunia pertanian Purbalingga akan lebih berkembang jika berjalan beriringan dengan peternakan. Limbah hasil pertanian bisa digunakan untuk pakan ternak. Sebaliknya, kotoran hewan bisa menjadi pupuk organik. Namun, pemanfaatan limbah peertanian itu belum maksimal. Terbukti kebutuhan pakan Purbalingga masih disulplai dari luar daerah.

“Purbalingga adalah daerah agraris sehingga hal itu juga bisa berdampak positif pada peternakan. Limbah hasil pertanian bisa digunakan untuk pakan ternak yang selama ini didatangkan dari luar daerah,” kata Mukodam kepada Ridlo Susanto dari Gatra. 

Sementara, kontes hewan ternak di Purbalingga melombakan enam kategori. Yaitu sapi peranakan ongole jantan, sapi peranakan ongole betina, sapi simmental, sapi limousine, pedet pejantan hasil inseminasi buatan dan pedet betina hasil inseminasi buatan.

Kementerian Pertanian (Kementan) menargetkan pada 2026 Indonesia mampu memenuhi kebutuhan daging sapi konsumsi yang mencapai 33 juta ekor per tahun. Saat ini jumlah populasi sapi baru sekitar 18 juta. “Memang secara hitungan Badan Pusat Statistik (BPS) setiap tahun komoditas sapi mengalami kenaikan sekitar 1,2-1,3 juta. Angka ini kami rasa belum memenuhi target swasembada daging yang kami canangkan,” kata Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) Kementan I Ketut Diarmita di Imogiri, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Rabu (24/7).

Diarmita datang ke Bantul untuk melihat perkembangan peternakan sapi dan kambing di acara ‘Gelar Potensi Peternakan Bantul 2019’. Menurutnya, swasembada daging dan sapi pada 2026 harus bisa dipenuhi sebagai fondasi Indonesia dan lumbung pangan pada 2045.

Salah satu program Kementan adalah meminta 514 kabupaten/kota di 34 provinsi untuk mengembangkan minimal 500 ekor sapi. Jika ini terwujud, ia yakinhampir separuh jumlah konsumsi daging bisa dipenuhi di dalam negeri. “Harapannya, jika sudah swasembada daging, maka kita bisa ekspor ke berbagai negara yang selama ini menjadi pengimpor. Seperti kita ketahui, selain sapi, daging domba dan kambing juga diminta kawasan Timur Tengah dan Malaysia,” ujarnya. Kementan mengatakan petani masih menghadapi masalah klasik dalam mengelola peternakan. Meski sumber daya alam melimpah, peternakan sapi dan kambing masih jadi usaha sampingan dan tidak berorientasi profit.

Sebagai dorongan, pemerintah telah menghadirkan program inseminasi buatan (IB) gratis. Tidak hanya itu, indukan yang tidak produktif juga akan diganti untuk memperbaiki genetika ternak dan meningkatkan kualitas daging. “Kita jangan terus-menerus menjadi negara konsumtif. Ancaman saat ini datang dari Amerika dan Brasil yang ingin mengekspor daging ayam dan sapi,” ujarnya.

Kepala Dinas Pertanian Pangan Kelautan dan Perikanan (DKPP) Bantul Pulung Haryadi mengatakan, sesuai kesepakatan dengan pemerintah, pada 2025 Bantul ditargetkan memiliki 120.000 sapi dan 250.000 kambing/ domba. “Saat ini jumlah populasi sapi yang tercatat di dinas 60.000 ekor, sedangkan kambing/ domba 170.000 ekor. Untuk mempercepat (produksi), kami giatkan terus program IB setiap tahun,” katanya pada Kukuh Setyono dari Gatra. Pada 2018, 19.000 sapi indukan telah menjalani IB dan tahun ini ditargetkan 24.000 ekor. Tahun ini pertama kali kambing menjalani IB dengan target 2.500 ekor. 

1466