Jakarta, GATRAreview.com - Peningkatan pada belanja barang di Kementerian Pertanian dinilai memiliki elastisitas atau daya dongkrak yang lebih besar terhadap pertumbuhan ekonomi, ketimbang belanja modal. Demikian menurut Direktur Keuangan Negara dan Analisis Moneter Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Indonesia/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Kementerian BPN/Bappenas), Boediastoeti Ontowirjo kepada pers.
Boediastoeti menyampaikan, hal tersebut merupakan hasil riset terhadap efektivitas belanja kementerian dan lembaga pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi yang dilakukan Bappenas. "Belanja barang yang dilakukan Kementerian Pertanian yang dipimpin Menteri Amran, merupakan contoh salah satu belanja barang produktif yang memacu pertumbuhan ekonomi, termasuk ekonomi di daerah adalah belanja alat mesin pertanian dan input produksi," katanya di Jakarta, Selasa (13/8).
Menurutnya, setiap peningkatan 1% belanja alat mesin pertanian (alsintan), maka akan mendorong 0,33% peningkatan subsektor pertanian, peternakan, perburuan, dan jasa pertanian di daerah. "Saya kira dalam perencanaan ke depan, belanja barang yang produktif dapat menjadi terobosan untuk diterapkan pada banyak kementerian lainnya," katanya. Dengan demikian, belanja kementerian bisa menjadi lebih berkualitas.
Riset ini menunjukkan bagaimana efektivitas belanja barang terhadap pertumbuhan ekonomi. Salah satunya lewat peningkatan alokasi anggaran pada 2016 hingga 2017, disebutkan belanja modal mengalami peningkatan paling tinggi yaitu sebesar Rp39,1 triliun, kemudian belanja barang sebesar Rp31,8 triliun dan belanja pegawai Rp7,5 triliun. Namun, komponen yang mendorong pertumbuhan ekonomi paling tinggi adalah belanja barang.
Belanja barang mendorong pertumbuhan ekonomi hingga 0,08%, sementara itu, belanja modal hanya mendorong 0,03% dan belanja pegawai hanya 0,01%. "Masalahnya, belum semua belanja barang dari pemerintah ini menjadi belanja barang yang produktif," ungkapnya.
Ekspor Peternakan ke 110 Negara
Seperti diketahui, sektor peternakan memegang peranan penting bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sebab sektor peternakan merupakan salah satu sub sektor yang menjadi motor penggerak pembangunan khususnya di wilayah pedesaan. Berdasarkan data survei angkatan kerja nasional (Sakernas) BPS per Agustus 2017, terdapat 3,84 juta tenaga kerja yang bekerja di sektor peternakan. Artinya sektor peternakan berkontribusi sebesar 3.17% terhadap jumlah tenaga kerja nasional.
Menurut Kepala Biro Humas Kementerian Pertanian, Kuntoro Boga, potensi sektor peternakan di Indonesia sangat besar dan bisa dioptimalkan lagi. Indonesia, Boga melanjutkan, memiliki vegetasi yang sangat luas, baik untuk perkebunan, makanan pangan, maupun untuk kegiatan peternakan. Umumnya, peternak lokal masih menggunakan teknik kandang dan peternakan rumah tangga. Boga menyatakan, potensi peternakan lokal di hamparan seperti di Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat sangat besar untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. .
“Tiga tahun ini kita swasembada protein, terutama daging ayam dan telur. Kita masih berusaha swasembada sapi potong dan susu. Tetapi kita sudah swasembada kambing dan domba karena tidak impor lagi dari Australia. Sapi dan susu kita masih butuh impor, tetapi juga dengan memperhatikan kemampuan peternak untuk berproduksi. Untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, susu baru 40%, sedangkan sapi sekitar 60%–70%,” ujar Boga Kepada Drean Muhyil Ihsan dari GATRA Review.
Untuk mendongkrak produksi sapi lokal, Kementan juga telah mencanangkan program unggulan. Misalnya, program SIWAB (Sapi Indukan Wajib Bunting) yang telah berhasil meningkatkan populasi sapi hampir 1 juta ekor dalam setahun. Saat ini, dengan program SIWAB, jumlah sapi di Indonesia mencapai 17 juta ekor. Pemerintah menargetkan swasembada sapi pada tahun 2024 dan susu sapi pada 2030.
Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, I Ketut Diarmita, mengatakan bahwa berdasarkan data, kontribusi subsektor peternakan pada PDB nasional adalah sebesar 1,57%. Sementara itu, untuk pembentukan PDB sektor pertanian tahun 2017, subsektor peternakan berkontribusi sebesar 15,87%.
Nilai ekspor peternakan pada 2017 mencapai US$623,9 juta atau setara dengan Rp8,5 triliun. Sedangkn pada tahun yang sama, kontribusi volume ekspor subsektor peternakan terbesar pada kelompok hasil ternak sebesar 64.07%. Adapun negara tujuan ekspor terbanyak adalah Hong Kong (23,10%) dan Cina (21,96%). Saat ini, produk peternakan Indonesia sudah mampu menembus lebih dari 110 negara.
Menurut data Dirjen Peternakan, produksi hasil ternak khususnya daging sapi dan ayam pada 2018 mengalami peningkatan. Produksi daging sapi di Indonesia pada 2018 mencapai 496,302 ton, meningkat 2,5% dari produksi 2017 sekitar 486,320 ton. Namun kondisi ini turun jika dibandingkan dengan 2016, yang menyentuh angka 518,484 ton. Produksi daging ayam ras di Indonesia pada 2018 sebesar 2,144 juta ton lebih tinggi dari 2017, yang sebesar 2,046 juta ton. Jumlah ayam ras pedaging pada 2018 mencapai 1,9 miliar ekor, sehingga produksi daging ayam lokal sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Editor: Nur Hidayat