Jakarta, Gatra.com - Direktur Eksekutif SETARA Institute, Ismail Hasani mengatakan bahwa peraturan daerah (Perda) merupakan alat kampanye kepala daerah yang paling murah. Secara politik hal itu dianggap wajar, namun dalam konstruksi HAM hal itu bertentangan dengan konstitusi.
"Itu praktik yang keliru. Karena di dalam politisasi identitas selalu ada pihak yang ditundukkan secara tidak sehat oleh lawan-lawannya," ujar Ismail di Hotel Ashley, Jakarta, Selasa (13/8).
Menurutnya, ada masyarakat yang merasa dibohongi dengan kebijakan-kebijakan sebagai alat kampanye tersebut. Dengan menerbitkan kebijakan yang berkaitan dengan keagamaan, contohnya, seorang politisi bisa mendapatkan pendukung dengan instan.
Baca Juga: Kemendagri Akan Lakukan Klarifikasi Perda Diskriminatif
"Motif politik itu adalah politik pencitraan. Saat seorang kepala daerah membentuk Perda semacam ini, dia tidak perlu berkampanye. Dia cukup mengeksploitasi prestasi dia di dalam konteks membentuk Perda-Perda religius, dia sudah bisa menghimpun barisan pendukung," ujarnya.
Namun, berdasarkan hasil penelitian SETARA Institute, beberapa Perda ini malah bersifat diskriminatif terhadap beberapa kelompok masyarakat. Bahkan, produk hukum daerah ini dinilai sampai melanggar HAM.
Diketahui, penelitian ini mengidentifikasi adanya 32 produk hukum daerah yang mendiskriminasi kelompok minoritas. Sebanyak 21 diantaranya merupakan kebijakan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan 11 kebijakan di Jawa Barat (Jabar).