Home Politik Saat Duo Pakar Menyebut Kawasan Hutan Ilegal

Saat Duo Pakar Menyebut Kawasan Hutan Ilegal

Pekanbaru, Gatra.com - Beberapa tahun belakangan masyarakat Riau sibuk direcoki oleh status kawasan hutan pada lahan. Gara-gara status kawasan itu, puluhan desa di Riau nyaris tidak bisa berkembang.

Belum lagi, gara-gara disebut berada di kawasan hutan, saban hari ratusan ton Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit petani tak laku di pabrik pengolahan. Ironisnya, mereka kemudian menjadi bulan-bulanan oknum penegak hukum yang ingin memanfaatkan situasi petani di kawasan hutan tadi untuk mengeruk keuntungan. Hal yang sama juga dirasakan oleh perusahaan kebun kelapa sawit yang juga terbak di situasi yang sama.

Yang paling celaka ada lagi. Pada Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan tentang kawasan hutan sebelumnya, kebun kelapa sawit itu berada di Areal Peruntukan Lain (APL). Sebahagian kemudian memiliki sertifikat hak milik. Tapi saat SK Menhut yang baru keluar, kebun tadi sudah masuk dalam kawasan hutan.

"Di sinilah sebenarnya yang menjadi masalah besar itu sejak dulu. Kementerian Kehutanan seolah-olah dialah yang legal, yang lain ilegal. Padahal sebenarnya, kawasan hutan nya itulah yang ilegal. Sebab belum memenuhi syarat seperti yang diminta oleh pasal 15 UU 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Bahwa pengukuhan kawasan hutan itu musti melalui empat tahapan, namun yang dilakukan baru satu tahapan," kata Sudarsono Soedomo, PhD, dosen Kebijakan Kehutanan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) kepada Gatra.com Senin (12/8).

Dan sebenarnya kata Sudarsono, kementerian kehutanan sudah tidak punya kewenangan lagi soal penunjukan dan penetapan kawasan hutan pada UU 41 tahun 1999. "Sebab di dalam UU itu, yang menunjuk dan menetapkan kawasan hutan adalah pemerintah, bukan menteri. Pemerintah itu ya presiden, menteri itu hanya sub ordinat," katanya.

Kalau pada UU 5 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan kata Sudarsono, yang menunjuk kawasan hutan adalah pemerintah dan yang menetapkan menteri.

"Di situ bedanya adantara UU 5 tahun 1967 dan UU 41 Tahun 1999. Nah di saat kondisi kawasan hutannya seperti itu, aparat penegak hukum pun enggak pernah diajak ngomong soal itu. Enggak dikasi penjelasan tentang kondisi sebenarnya meski sebahagian aparat penegak hukum tahu tentang kondisi sebenarnya itu," ujarnya.

Lantas DR Sadino, pakar hukum kehutanan yang juga Direktur Eksekutif Biro Konsultasi Hukum & Kebijakan Kehutanan ini mengatakan, dari 140 juta hektar kawasan hutan yang ditunjuk, baru sekitar 15-16 persen yang ditata batas.

"Otoritas kehutanan tidak pernah melakukan penetapan terhadap kawasan hutan, yang ada hanya klaim kawasan hutan. Dari 2012-2014, baru sekitar 15-16 persen yang ditata batas. Belakangan, ada kemajuan, tapi saya meragu, sebab menurut saya kemajuan itu masih kemajuan mengklaim kawasan hutan," katanya.

Sadino kemudian mencontohkan di Riau, bahwa hingga saat ini belum ada yang namanya penetapan kawasan. "Yang ada hanya merubah judul peta biar seolah-olah itu sudah ditetapkan. Kasus semacam ini juga terjadi di Kalimantan," ujar Sadino.

Baca juga: Saat DR. Sadino Menyoal Kawasan Hutan 

Di sisi lain, mayoritas orang kecil, petani, tidak mengerti apa itu kawasan hutan. Dan masyarakat enggak bisa dipersalahkan lantaran mereka punya hak azazi untuk hidup dan punya living law dalam unity nya.

Semestinya kata Sadino, hak konstitusional masyarakat wajib dihormati. Itulah makanya apabila otoritas kehutanan melakukan tata batas pada satu hamparan, hak masyarakat harus dienclave tanpa syarat.

Sadino kemudian mencontohkan penunjukan satu lahan menjadi lapangan bola. "Kalau ada hak orang di tengah lapangan bola itu, harus diselesaikan. Enggak bisa seenaknya lapangan bola itu langsung dipakai sementara ada hak orang di sana," katanya.

Baca juga: Gubri Bikin Tim Terpadu Sawit Ilegal, Ini Kata Pakar

Ada juga contoh lain yang sudah benar yang dilakukan oleh otoritas kehutanan kepada masyarakat yang disodorkan oleh Sadino.

Misalnya 25 ribu kepala keluarga yang ada di kawasan Gunung Pangrango dan Gunung Salak di Jawa Barat. "Mereka tetap berada di sana meski di dalam kawasan hutan. Hak konstitusional mereka dihargai, masyarakat di sana bebas beraktivitas tanpa harus dikungkung untuk tidak bisa berbuat apa-apa. Inilah yang benarnya," ujar Sadino.

Jadi, menurut Sadino, apabila ada masyarakat yang masih berada di kawasan hutan yang ditunjuk, maka hak masyarakat itu harus dihargai.

"Tak ada pelanggaran hukum yang dilakukan masyarakat di sana, yang ada cuma pelanggaran administrasi. Mereka tidak punya surat-surat. Nah di sini sebenarnya negara harus hadir, negara wajib hadir memberikan pelayanan terkait administrasi itu. Ingat, hukum kita tidak pernah mengangkangi hak masyarakat," tegasnya.

1868