Yogyakarta, Gatra.com – Ahli hukum tata negara Mahfud MD membenarkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) mengusulkan amademen UUD 1945. Usulan itu terbatas untuk dua hal saja dan sudah dibicarakan dengan pimpinan lembaga negara.
“Yang diusulkan oleh PDIP soal amademen UUD 1945 sudah didiskusikan dengan Presiden, Kapolri, Panglima TNI, Ketua MPR, BPIP, dan pimpinan parpol. Disepakati amademen bersifat terbatas pada dua hal,” jelas Mahfud saat ditemui wartawan di kompleks kantor Gubernur DIY, Kota Yogyakarta, Senin (12/8).
Menurut Mahfud, amademen pertama soal MPR yang melahirkan kembali Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan amandemen kedua menjadikan kembali MPR sebagai lembaga tinggi negara yang mengawasi kinerja presiden.
Baca Juga: Mahfud MD: Tak Akui Presiden Terpilih Itu Melanggar Hukum
Soal GBHN, Mahfud menganggap hal ini prioritas karena saat ini tidak ada masterplan atau rencana utama pembangunan negara yang menjadi acuan pusat sampai daerah. Akibatnya, kata dia, keputusan yang diambil pusat dan daerah sering kali tidak sejalan.
“Sebagai contoh ada daerah yang mengeluarkan izin eksplorasi tambang maupun hutan lebih dari luas daerahnya. Semisal luas daerah hanya 200 kilometer persegi, namun izin yang dikeluarkan mencapai 300 kilometer persegi,” ujarnya.
Ia menjelaskan, kondisi ini lantaran setiap kepala daerah yang baru terpilih selalu mengeluarkan izin. Banyak daerah pun akhirnya menjadi kawasan pertambangan, padahal mereka tidak memiliki potensi.
Adanya GBHN, kata Mahfud, bertujuan menyamakan aturan daerah dengan kebijakan pemerintah pusat. “Amademen kedua adalah kembali menjadikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara yang mengawasi kerja Presiden,” katanya.
Baca Juga: Mahfud MD: Prabowo akan Disukai Rakyat Jika Jadi Oposisi
Dengan masa kerja MPR tinggal 1,5 bulan lagi, usulan amademen UUD 1945 kemungkinan akan dibawa PDIP untuk dibahas di DPR periode 2019-2024.
Mahfud meminta, pembahasan amademen ini tidak seperti membuka kotak pandora atau memunculkan banyak masalah. Ia tak ingin usulan amandemen ini justru memunculkan banyak pasal di luar kesepakatan, seperti pemilihan presiden langsung, penunjukan kepala daerah oleh DPRD, atau masa jabatan presiden jadi delapan tahun.
“MPR dan pemerintah bersama akademisi, tokoh masyarakat, harus terlebih dahulu menyepakati bahwa amademen UUD hanya membahas dua hal tersebut. Tidak ada pasal lain,” ujarnya.