Jakarta, Gatra.com - Beberapa pekan ini, dinamika politik global mengalami fluktuasi tidak terduga. Perilaku Amerika Serikat (AS) dan Cina menjadi sorotan utama. Di tengah dinamika ini, Indonesia diimbau untuk tidak terjebak oleh jebakan politik internasional.
"Kita sampai pada masa di mana hegemoni AS ditantang oleh perkembangan. Tiongkok dan AS merasa terancam. Kondisi ini menyebabkan kita jatuh pada jebakan Thucydides," ucap peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Fitriani ketika dihubungi Gatra.com, Senin (12/8).
Jebakan yang dimaksud Fitriani ini, berasal dari ucapan Filsuf Yunani "Yang kuat melakukan apa yang mereka mau. Yang lemah menderita apa yang mereka harus terima". Kondisi seperti ini terjadi ketika kekuatan suatu negara dapat mendikte perilaku negara lain.
"Oleh karena itu, kita sering mendengar "American exceptionalism". [Ini merupakan] kondisi politik internasional yang masih anarkis. Membuat negara besar seperti Amerika bisa melakukan yang mereka mau," lanjutnya.
Menjawab pertanyaan solusi yang dilakukan apabila terjebak di antara perkelutan negara besar, Fitriani mengatakan, jawabannya tergantung kepada siapa kita bertanya.
"Kalau untuk AS dan Tiongkok tidak cukup untuk ASEAN [dan Indonesia tentunya] menjadi netral. Mereka akan bertujuan, negara lain harus ikut dengan kubu mereka," kata Fitriani.
Sementara itu, melihat dari perspektif ASEAN, Fitriani berpandangan, adanya semangat ASEAN untuk membangun dialog dan pertemuan, menjadi hal yang bisa diandalkan. Menurutnya, ASEAN telah berhasil melewati waktu selama 5 dekade. Mulai dari perang dingin hingga sekarang, saat forum pertemuan kawasan.
"Menurut saya kalau dari perspektif ASEAN, ASEAN spirit-nya cukup. Mungkin saya cepat puas ya," ujarnya.