Pekanbaru, Gatra.com – Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau menggelar rapat tertutup tentang penertiban lahan sawit ilegal di ruang rapat Kenanga Kantor Gubernur Riau di kawasan jalan Sudirman Pekanbaru, Senin (12/8).
Dalam rapat tertutup itu, Pemprov Riau mengundang Badan Pertanahan Nasional Riau, Kantor Wilayah Pajak serta sejumlah Forkopimda lain. "Iya, kami akan menertibkan perkebunan yang ilegal, tak ada izin dan sebagainya. Hari ini kita rapat," kata Syamsuar di kantor Gubernur Riau.
Rapat tadi menindaklanjuti Surat Keputusan Gubernur Riau Nomor: Kpts.911/VIII/2019, yang ditandatangani Syamsuar 2 Agustus 2019 lalu. Isinya memutuskan untuk membentuk Tim Terpadu Penertiban Penggunaan Kawasan/Lahan Secara Ilegal di Provinsi Riau.
Syamsuar menegaskan dalam surat keputusan itu, rincian tugas tim terpadu tercantum dalam petunjuk teknis yang ditetapkan lebih lanjut oleh masing-masing Ketua Tim. Dalam melaksanakan tugasnya, Tim Terpadu bertanggung jawab kepada Gubernur Riau.
Dalam surat keputusan tadi disebutkan bahwa Gubernur Riau sebagai penanggung jawab, Kapolda Riau (pelindung/penasehat I), Komandan Korem 031/Wirabima (pelindung/penasehat II), Kepala Kejaksaan Tinggi Riau (pelindung/penasehat III), Ketua Pengadilan Tinggi Riau (pelindung/penasehat IV), dan Bupati/Walikota se Provinsi Riau (pengarah).
Ketua Tim Pengendali Wakil Gubernur Riau, Ketua Tim Operasi Direktur Reserse Kriminal Umum, dan Ketua Tim Yustisi Direktur Reserse Kriminal Khusus.
Sementara untuk Sekretariat di Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Riau dan Dinas Tanaman Pangan, Holtikultura, dan Perkebunan Riau.
Segala biaya yang timbul akibat ditetapkannya Keputusan Gubernur ini dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Riau dan sumber lain yang sah dan tidak mengikat.
Ikhwal munculnya penertiban lahan kelapa sawit ilgel ini bermula dari omongan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mencatat bahwa ada sekitar 1 juta hektar kebun sawit di Riau tanpa izin.
Pemprov Riau didorong untuk menertibkan perkebunan sawit ilegal. Wakil Pimpinan KPK, Alexander Marwata yang mengatakan itu di Pekanbaru, saat berkunjung ke Riau, Kamis 2 Mei 2019 lalu.
"Dalam catatan kami ada 1 juta hektar perkebunan sawit yang mengokupasi areal hutan menjadi perkebunan kelapa sawit. Selain dikuasi masyarakat, paling besar dikuasai perusahaan tanpa izin," kata Alex.
Menurut Alex, dari koordinasi dan supervisi (korsup) ditemukan banyak perusahaan tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Perusahaan-perusahaan itu belum pernah membayar pajak selama menguasai hutan.
"Perusahaan itu sudah mengeruk kekayaan bumi, namun mereka tidak pernah membayar pajak ke negara," kata Alexander.
KPK bekerjasama dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk menertibkan perusahaan yang menguasai hutan secara ilegal itu. Pihaknya juga akan mengajak Geospasial dengan kebijakan satu peta.
"Dari peta di Kementerian Kehutanan, bisa jadi kawasan itu masih hutan. Tapi fakta di lapangan sudah jadi kebun sawit," ujar Alex.
Sebelumnya, Kepala Departemen Hukum dan Advokasi Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (DPP-Apkasindo), Abdul Aziz menyambut baik langkah yang dilakukan oleh Syamsuar untuk menertibkan perkebunan kelapa sawit ilegal itu.
Hanya saja Aziz mengingatkan Syamsuar untuk benar-benar ekstra hati-hati dalam melakukan upaya tadi. Sebab bukan tidak mungkin langkah ini akan memunculkan persoalan hukum baru di Riau.
"Luas lahan yang menjadi pokok persoalan kan enggak sehektar dua hektar, tapi jutaan hektar. Kalaulah satu perusahaan punya kebun kelapa sawit 1000 hektar di satu wilayah, enggak mungkin dari awal satu dari semua pemangku kepentingan tidak tahu. Katakanlah kebun itu di kabupaten A, enggak mungkin satupun pemangku kepentingan di sana tidak tahu keberadaan kebun itu. Nah pertanyaan yang kemudian muncul, kok bisa aktivitas kebun itu berjalan terus? Enggak mungkin aktivitas kebun itu berjalan mulus kalau enggak ada yang memuluskan. Lantas siapa yang memuluskan itu?" Aziz bertanya.
Kalau kebun kelapa sawit itu ilegal lantaran disebut berada di kawasan hutan, yang semacam ini juga kata Aziz perlu dirunut ulang dan ini sangat vital.
Sebab dari hasil investigasi timnya di lapangan kata Aziz, embel-embel kawasan hutan ini sudah jadi bancakan --- sumber pungutan liar --- sejumlah oknum.
Tidak hanya kepada masyarakat yang dituduh berkebun di kawasan hutan, tapi juga terhadap perusahaan kelapa sawit yang disebut berada di kawasan hutan. "Pertanyaanya, benar enggak itu kawasan hutan?" Aziz bertanya.
Kalau merujuk pada pasal 14 dan 15 Undang-Undang 41 tahun 1999 Tentang Kehutanan kata Aziz, pada pasal 14 angka 2 disebut bahwa kegiatan pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan untuk memberikan kepastian hukum atas kawasan hutan.
"Lalu pada pasal 15 ayat (1) disebutkan; pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dilakukan melalui proses; penunjukan, penataan batas, pemetaan dan penetapan kawasan hutan.
Ini juga ada pada pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H) yang menyebutkan bahwa kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap," Aziz merinci.
Kemudian pada pasal 17 PP No. 44 Tahun 2004 tentang perencanaan kehutanan kata Aziz disebutkan bahwa pengukuhan kawasan hutan adalah rangkaian kegiatan penunjukan, penataan batas, pemetaan dan penetapan kawasan hutan dengan tujuan untuk memberikan kepastian hukum atas status, letak, batas dan luas kawasan hutan.
"Di Permenhut No 44 Tahun 2012 jo Permenhut No. 62 Tahun 2013 tentang pengukuhan kawasan hutan malah lebih detil lagi disebutkan tentang tata cara pengukuhan kawasan hutan tadi. Dan perlu diingat, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 45 tahun 2012 sudah memastkan bahwa Frasa "ditunjuk dan atau" dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Kalau dipaksakan juga, berarti sudah pemerintah otoriter namanya," tegas Aziz.
Aziz mengungkit bahasa "ditunjuk dan atau" dalam Pasal 1 angka 3 UU 41 tahun 1999 tadi lantaran di pasal itu disebutkan bahwa kawasan hutan adalah kawasan yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah. "Ini yang dipertegas oleh MK tadi bahwa, ditunjuk dan atau itu enggak berlaku. Sebab enggak semestinya suatu kawasan hutan yang akan dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap, menguasai hajat hidup orang banyak, hanya dilakukan melalui penunjukan," katanya.
Dan satu hal yang sangat penting lagi kata Aziz, pada pasal 44 ayat (2) Permenhut No. 44 Tahun 2012 disebutkan bahwa dalam hal penataan batas kawasan hutan temu gelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masih terdapat hak-hak pihak ketiga yang belum diselesaikan, maka kawasan hutan tersebut ditetapkan oleh Menteri dengan memuat penjelasan hak-hak yang ada di dalamnya untuk diselesaikan oleh Panitia Tata Batas yang bersangkutan.
Jadi kata Aziz, negara sebenarnya sudah sangat menghargai hak-hak masyarakat dalam proses pengukuhan kawasan hutan. Hanya saja, oknum pelaksana yang tidak menjalankan aturan yang dibikin itu sebagaimana mestinya.
Pengukuhan kata Aziz bukan saja menjadi persoalan di kawasan hutan, tapi juga di konsesi perusahaan perhutanan. Sebab di Riau, nyaris tidak ada izin konsesi yang sudah dikukuhkan lewat penataan batas.
"Pengukuhan kawasan hutan yang benar itu adalah sebuah proses yang sudah mengeluarkan hak-hak masyarakat yang ada di dalamnya untuk tidak masuk dalam kawasan hutan yang akan ditetapkan. Kalau kemudian hak masyarakat masih ada di dalam, wajib tetap dihargai sebagai hak masyarakat itu. Kalau enggak berarti ada perbuatan otoriter di sana," katanya.
Pakar hukum kehutanan, DR. Sadino, SH, MH mengamini apa yang dikatakan Aziz tadi. "Negara tidak pernah memikirkan living law (hukum yang hidup) yang ada di masyarakat. Padahal living law itu lebih tinggi dari hukum Negara," katanya kepada Gatra.com.
Kalau saja living law itu menjadi perhatian kata Direktur Eksekutif Biro Konsultasi Hukum & Kebijakan Kehutanan ini, dari awal otoritas kehutanan sudah menetapkan kawasan hutan, bukan sekadar penunjukan. "Pas masyarakat membuka hutan dibiarkan, tanaman sudah menghasilkan, direcoki," sindirnya.
Sadino menyebut, otoritas kehutanan nyaris tidak pernah melakukan penetapan terhadap kawasan hutan, yang ada hanya klaim kawasan hutan.
Dari 2012-2014, dari sekitar 240 juta hektar kawasan hutan yang ditunjuk, baru sekitar 15-16 persen yang ditata batas. "Belakangan, ada kemajuan, tapi saya meragu, sebab menurut saya kemajuan itu masih kemajuan mengklaim kawasan hutan," katanya.
Di Riau kata Sadino, belum ada yang namanya penetapan kawasan. "Yang ada hanya merubah judul peta biar seolah-olah itu sudah ditetapkan. Kasus semacam ini juga terjadi di Kalimantan," ujar Sadino.
Masyarakat kata Sadino enggak bisa dipersalahkan terkait kawasan hutan tadi lantaran mereka punya hak azazi untuk hidup dan punya living law dalam unity-nya.
Semestinya kata Sadino, hak konstitusional masyarakat wajib dihormati. Itulah makanya apabila otoritas kehutanan melakukan tata batas pada satu hamparan, hak masyarakat harus dienclave tanpa syarat.
Misalnya 25 ribu kepala keluarga yang ada di kawasan Gunung Pangrango dan Gunung Salak di Jawa Barat. "Mereka tetap berada di sana meski di dalam kawasan hutan. Hak konstitusional mereka dihargai, masyarakat di sana bebas beraktivitas tanpa harus dikungkung untuk tidak bisa berbuat apa-apa. Inilah pengukuhan kawasan hutan yang benar itu," tegas Sadino.
Jadi, menurut Sadino, apabila ada masyarakat yang masih berada di kawasan hutan yang ditunjuk, maka hak masyarakat itu harus dihargai.
"Tak ada pelanggaran hukum yang dilakukan masyarakat di sana, yang ada cuma pelanggaran administrasi. Mereka tidak punya surat-surat. Nah di sini sebenarnya negara harus hadir, negara wajib hadir memberikan pelayanan terkait administrasi itu. Ingat, hukum kita tidak pernah mengangkangi hak masyarakat," tegasnya.
Jika kemudian di lapangan ada oknum yang ngotot dengan embel-embel kawasan tadi, sebaiknya kata Sadino, masyarakat melakukan class action, menggugat pemerintah atas kengototan tadi. "Gugatan ini harus dikawal terus biar tidak masuk angin," pintanya.
Lalu kepada para penegak hukum Sadino berpesan untuk objektif menengok persoalan kawasan hutan ini. "Penetapan kawasan hutan tidak boleh hanya mengejar formalitas, tapi ada sederet tahapan yang benar yang mesti dilewati tanpa harus menggerus hak konstitusional masyarakat," katanya.
Aziz kemudian menambahkan, jika Syamsuar benar-benar akan menertibkan kebun kelapa sawit ilegal tadi, sejumlah aspek musti diperhatikan. Mulai dari kondusifitas iklim investasi hingga bekerlangsungan hajat hidup orang banyak.
"Untuk perusahaan yang disebut ilegal, sebaiknya ditengok dulu apa masalahnya. Apa lantaran rumitnya mengurus izin atau seperti apa. Sebab saya yakin, semua perusahaan pasti ingin aman berusaha. Lantaran ingin aman, mereka pasti mau mengurus segala sesuatu terkait keamanan usahanya. Di sinilah pemerintah harus hadir, memfasilitasi semua kebutuhan mereka demi memenuhi aturan main yang ada, biar mereka merasa aman. Kalau ini dilakukan, investasi lancar, imbas multi efek ekonomi akan positif dan pemerintah memperoleh pendapatan. Punishment menjadi akhir dari semua proses tadi. Kalau perusahaan masih saja membangkang setelah dikasi kemudahan, berarti tidak ada itikad baik, dan ini layak diberi sanksi tegas," urai Aziz.
Lalu khusus mereka yang disebut berada dikawasan hutan, alangkah lebih baik penataan batas terkini segera dilakukan. Suka tidak suka, pemerintah harus mengenclave hak masyarakat yang ada saat ini. Sebab mereka tidak bersalah.
"Pemerintah yang lalai menjalankan perintah undang-undang dan pemerintah juga yang lalai untuk rutin menginventarisasi kawasan hutannya. Bukankah di PP 6 tahun 2007 tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, serta pemanfaatan hutan, inventarisasi itu wajib dilakukan?" kata Aziz.
Kalau semua ini dilakukan pemerintah kata Aziz, efeknya akan sangat positif, Eropa tidak lagi petentengan menuding kalau sawit Indonesia ada di kawasan hutan dan merusak hutan."Sebab semuanya sudah ditata sesuai dengan aturan yang ada, bukan aturan oknum yang punya kepentingan lain di tanah negeri ini," katanya.