Home Politik Gubri Bikin Tim Penertiban Sawit Ilegal, Ini Saran Apkasindo

Gubri Bikin Tim Penertiban Sawit Ilegal, Ini Saran Apkasindo

Pekanbaru, Gatra.com - Pemerintah Provinsi Riau membikin sinyal bakal menertibkan perkebunan ilegal di Riau. Gubernur Riau (Gubri) Syamsuar sendiri yang menegaskan itu pada hari jadi Provinsi Riau yang ke-62. 

Upaya penertiban ini kata Syamsuar bakal melibatkan sejumlah instansi di Provinsi Riau seperti Kepolisian, TNI hingga Kantor Wilayah Pajak. 

"Kita sudah membentuk tim untuk mengurai persoalan-persoalan itu.  Tim akan melibatkan sejumlah unsur dari lembaga lainya," katanya,  Jum'at (9/8). 

Polemik kebun kelapa sawit ilegal ini sebenarnya bukan lagi cerita baru. Bahkan sudah ada sejak hampir lima tahun silam saat Komisi A DPRD Riau menggagas pembentukan Panitia Khusus Monitoring Perizinan dan Lahan perkebunan kelapa sawit di Riau.    

Setelah Pansus bekerja, didapati kalau kebun sawit ilegal yang ada di Riau mencapai 1,8 juta hektar. Angka ini disebut-sebut telah membikin pendapatan negara dari sektor pajak, bocor sekitar Rp34 triliun. 

Belakangan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun menyodorkan catatan bahwa kebun kelapa sawit ilegal di Provinsi Riau mencapai sekitar 1 juta hektar. 

Kebun sawit jenis ini digarap dengan mengokupasi kawasan hutan. Yang menggarap, selain masyarakat, juga perusahaan. 

Dalam kunjunganya ke Riau pada Mei 2019, Wakil Pimpinan KPK Alexander Mawarta mengatakan, banyak perusahaan kebun kelapa sawit ilegal tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Artinya, perusahaan itu belum pernah membayar pajak ke negara selama menguasai areal hutan.

Kepala Departemen Hukum dan Advokasi Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (DPP-Apkasindo), Abdul Aziz menyambut baik langkah yang dilakukan oleh Syamsuar untuk menertibkan perkebunan kelapa sawit ilegal itu. 

Hanya saja Aziz mengingatkan Syamsuar untuk benar-benar ekstra hati-hati dalam melakukan upaya tadi. Sebab bukan tidak mungkin langkah ini akan memunculkan persoalan hukum baru di Riau. 

"Luas lahan yang menjadi pokok persoalan kan enggak sehektar dua hektar, tapi jutaan hektar. Kalaulah satu perusahaan punya kebun kelapa sawit 1000 hektar di satu wilayah, enggak mungkin dari awal satu dari semua pemangku kepentingan tidak tahu. Katakanlah kebun itu di kabupaten A, enggak mungkin satupun pemangku kepentingan di sana tidak tahu keberadaan kebun itu. Nah pertanyaan yang kemudian muncul, kok bisa aktivitas kebun itu berjalan terus? Enggak mungkin aktivitas kebun itu berjalan mulus kalau enggak ada yang memuluskan. Lantas siapa yang memuluskan itu?" Aziz bertanya. 

Kalau kebun kelapa sawit itu ilegal lantaran disebut berada di kawasan hutan, yang semacam ini juga kata Aziz perlu dirunut ulang dan ini sangat vital. 

Sebab dari hasil investigasi timnya di lapangan kata Aziz, embel-embel kawasan hutan ini sudah jadi bancakan --- sumber pungutan liar --- sejumlah oknum. 

Tidak hanya kepada masyarakat yang dituduh berkebun di kawasan hutan, tapi juga terhadap perusahaan kelapa sawit yang disebut berada di kawasan hutan. "Pertanyaanya, benar enggak itu kawasan hutan?" Aziz bertanya. 

Kalau merujuk pada pasal 14 dan 15 Undang-Undang 41 tahun 1999 Tentang Kehutanan kata Aziz, pada pasal 14 angka 2 disebut bahwa kegiatan pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan untuk memberikan kepastian hukum atas kawasan hutan. 

"Lalu pada pasal 15 ayat (1) disebutkan; pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dilakukan melalui proses; penunjukan, penataan batas, pemetaan dan penetapan kawasan hutan.
Ini juga ada pada pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H) yang menyebutkan bahwa kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap," Aziz merinci.

Kemudian pada pasal 17 PP No. 44 Tahun 2004 tentang perencanaan kehutanan kata Aziz disebutkan bahwa pengukuhan kawasan hutan adalah rangkaian kegiatan penunjukan, penataan batas, pemetaan dan
penetapan kawasan hutan dengan tujuan untuk memberikan kepastian hukum atas status, letak, batas dan luas kawasan hutan.

"Di Permenhut No 44 Tahun 2012 jo Permenhut No. 62 Tahun 2013 tentang pengukuhan kawasan hutan malah lebih detil lagi disebutkan tentang tata cara pengukuhan kawasan hutan tadi. Dan perlu diingat, 
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 45 tahun 2012 sudah memastkan bahwa 
Frasa "ditunjuk dan atau" dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Kalau dipaksakan juga, berarti sudah pemerintah otoriter namanya," tegas Aziz.

Aziz mengungkit bahasa "ditunjuk dan atau" dalam Pasal 1 angka 3 UU 41 tahun 1999 tadi lantaran di pasal itu disebutkan bahwa kawasan hutan adalah kawasan yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah. "Ini yang dipertegas oleh MK tadi bahwa, ditunjuk dan atau itu enggak berlaku. Sebab enggak semestinya suatu kawasan hutan yang akan dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap, menguasai hajat hidup orang banyak, hanya dilakukan melalui
penunjukan," katanya.

Dan satu hal yang sangat penting lagi kata Aziz, pada pasal 44 ayat (2) Permenhut No. 44 Tahun 2012 disebutkan bahwa dalam hal penataan batas kawasan hutan temu gelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masih terdapat hak-hak pihak ketiga yang belum diselesaikan, maka kawasan hutan tersebut ditetapkan oleh Menteri dengan memuat penjelasan hak-hak yang ada di dalamnya untuk diselesaikan oleh Panitia Tata Batas yang bersangkutan.

Jadi kata Aziz, negara sebenarnya sudah sangat menghargai hak-hak masyarakat dalam proses pengukuhan kawasan hutan. Hanya saja, oknum pelaksana yang tidak menjalankan aturan yang dibikin itu sebagaimana mestinya. 

Pengukuhan kata Aziz bukan saja menjadi persoalan di kawasan hutan, tapi juga di konsesi perusahaan perhutanan. Sebab di Riau, nyaris tidak ada izin konsesi yang sudah dikukuhkan lewat penataan batas. 

"Pengukuhan kawasan hutan yang benar itu adalah sebuah proses yang sudah mengeluarkan hak-hak masyarakat yang ada di dalamnya untuk tidak masuk dalam kawasan hutan yang akan ditetapkan. Kalau  kemudian hak masyarakat masih ada di dalam, wajib tetap dihargai sebagai hak masyarakat itu. Kalau enggak berarti ada perbuatan otoriter di sana," katanya. 

Pakar hukum kehutanan, DR. Sadino, SH, MH mengamini apa yang dikatakan Aziz tadi. "Negara tidak pernah memikirkan living law (hukum yang hidup) yang ada di masyarakat. Padahal living law itu lebih tinggi dari hukum Negara," katanya kepada Gatra.com. 

Kalau saja living law itu menjadi perhatian kata Direktur Eksekutif Biro Konsultasi Hukum & Kebijakan Kehutanan ini, dari awal otoritas kehutanan sudah menetapkan kawasan hutan, bukan sekadar penunjukan. "Pas masyarakat membuka hutan dibiarkan, tanaman sudah menghasilkan, direcoki," sindirnya.

Sadino menyebut, otoritas kehutanan nyaris tidak pernah melakukan penetapan terhadap kawasan hutan, yang ada hanya klaim kawasan hutan. 

Dari 2012-2014, dari sekitar 240 juta hektar kawasan hutan yang ditunjuk, baru sekitar 15-16 persen yang ditata batas. "Belakangan, ada kemajuan, tapi saya meragu, sebab menurut saya kemajuan itu masih kemajuan mengklaim kawasan hutan," katanya.

Di Riau kata Sadino, belum ada yang namanya penetapan kawasan. "Yang ada hanya merubah judul peta biar seolah-olah itu sudah ditetapkan. Kasus semacam ini juga terjadi di Kalimantan," ujar Sadino.

Masyarakat kata Sadino enggak bisa dipersalahkan terkait kawasan hutan tadi lantaran mereka punya hak azazi untuk hidup dan punya living law dalam unity-nya.

Semestinya kata Sadino, hak konstitusional masyarakat wajib dihormati. Itulah makanya apabila otoritas kehutanan melakukan tata batas pada satu hamparan, hak masyarakat harus dienclave tanpa syarat.

Misalnya 25 ribu kepala keluarga yang ada di kawasan Gunung Pangrango dan Gunung Salak di Jawa Barat. "Mereka tetap berada di sana meski di dalam kawasan hutan. Hak konstitusional mereka dihargai, masyarakat di sana bebas beraktivitas tanpa harus dikungkung untuk tidak bisa berbuat apa-apa. Inilah pengukuhan kawasan hutan yang benar itu," tegas Sadino.

Jadi, menurut Sadino, apabila ada masyarakat yang masih berada di kawasan hutan yang ditunjuk, maka hak masyarakat itu harus dihargai.

"Tak ada pelanggaran hukum yang dilakukan masyarakat di sana, yang ada cuma pelanggaran administrasi. Mereka tidak punya surat-surat. Nah di sini sebenarnya negara harus hadir, negara wajib hadir memberikan pelayanan terkait administrasi itu. Ingat, hukum kita tidak pernah mengangkangi hak masyarakat," tegasnya.

Jika kemudian di lapangan ada oknum yang ngotot dengan embel-embel kawasan tadi, sebaiknya kata Sadino, masyarakat melakukan class action, menggugat pemerintah atas kengototan tadi. "Gugatan ini harus dikawal terus biar tidak masuk angin," pintanya.

Lalu kepada para penegak hukum Sadino berpesan untuk objektif menengok persoalan kawasan hutan ini. "Penetapan kawasan hutan tidak boleh hanya mengejar formalitas, tapi ada sederet tahapan yang benar yang mesti dilewati tanpa harus menggerus hak konstitusional masyarakat," katanya.

Aziz kemudian menambahkan, jika Syamsuar benar-benar akan menertibkan kebun kelapa sawit ilegal tadi, sejumlah aspek musti diperhatikan. Mulai dari kondusifitas iklim investasi hingga bekerlangsungan hajat hidup orang banyak. 

"Untuk perusahaan yang disebut ilegal, sebaiknya ditengok dulu apa masalahnya. Apa lantaran rumitnya mengurus izin atau seperti apa. Sebab saya yakin, semua perusahaan pasti ingin aman berusaha. Lantaran ingin aman, mereka pasti mau mengurus segala sesuatu terkait keamanan usahanya. Di sinilah pemerintah harus hadir, memfasilitasi semua kebutuhan mereka demi memenuhi aturan main yang ada, biar mereka merasa aman. Kalau ini dilakukan, investasi lancar, imbas multi efek ekonomi akan positif dan pemerintah memperoleh pendapatan. Punishment menjadi akhir dari semua proses tadi. Kalau perusahaan masih saja membangkang setelah dikasi kemudahan, berarti tidak ada itikad baik, dan ini layak diberi sanksi tegas," urai Aziz. 

Lalu khusus mereka yang disebut berada dikawasan hutan, alangkah lebih baik penataan batas terkini segera dilakukan. Suka tidak suka, pemerintah harus mengenclave hak masyarakat yang ada saat ini. Sebab mereka tidak bersalah. 

"Pemerintah yang lalai menjalankan perintah undang-undang dan pemerintah juga yang lalai untuk rutin menginventarisasi kawasan hutannya. Bukankah di PP 6 tahun 2007 tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, serta pemanfaatan hutan inventarisasi itu wajib dilakukan?" kata Aziz. 

Kalau semua ini dilakukan pemerintah kata Aziz, efeknya akan sangat positif, Eropa tidak lagi petentengan menuding kalau sawit Indonesia ada di kawasan hutan dan merusak hutan."Sebab semuanya sudah ditata sesuai dengan aturan yang ada, bukan aturan oknum yang punya kepentingan lain di tanah negeri ini," katanya.         

 

586