Jakarta, Gatra.com - Salah satu filmmaker muda Indonesia, yaitu Muhammad Faisal Ammar Sembiring. Ia mengaku tercebur ke daam dunia film karena mengikuti perkembangan zaman. Karya yang diputar dalam gelaran "The Indigenous Peoples Cinema Week (IPCW) 2019" menceritakan kembalinya ekosistem leuser dari kebun sawit ilegal.
"Saya tenggelam di dunia film karena tuntutan zaman juga. [Pekerjaan saya] sehari-hari juga banyak menjumpai orang yang concern di bidang kehutanan," jelasnya di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Sabtu (10/8).
Film mengenai restorasi hutan di kawasan Aceh Tamiang menjelaskan, penyebab restorasi hutan. Hal tersebut dilakukan karena adanya banjir bandang pada 2006 silam yang disebabkan perubahan fungsi hutan untuk perkebunan kelapa sawit. Di film itu, Ammar akan menggambarkan bagaimana pengalihan manfaat lahan menimbulkan resapan air berkurang.
Menurutnya, hal yang dilakukan dalam restorasi tersebut dengan merebut lahan yang dijadikan perkebunan kelapa sawit. Langkah yang dilakukan adalah mencari dukungan masyarakat sekitar, mengadvokasi pemerintah setempat, serta melapor kepada pihak kepolisian setempat.
Seperti diketahui, terdapat 20 ribu hutan yang rusak di kawasan Aceh Tamiang. Namun, melalui beberapa langkah yang dilakukan, cara itu membuahkan hasil. Terlihat dari semakin bertambahnya spesies yang ada di hutan berupa 120 burung, 14 mamalia, serta ratusan spesies tumbuhan.
Lahan yang kembali direbut akhirnya digunakan untuk menanam bermacam tumbuhan yang dapat dipanen. Ini dilakukan setelah petani setempat menanam lahan sekitar 250 hektar, mulai dari durian, dukuh, manggis, rambutan, cabai, jengkol, pete, aren, buah-buahan, hingga pohon.
Selain itu, ia juga mendeskripsikan, hutan bisa merestorasi dirinya sendiri tanpa campur tangan manusia. Peran manusia hanya perlu menjaga hutan untuk dilestarikan."Itu isu menarik. Di mana pemulihan hutan atau restorasi itu bisa loh dilakukan dan bisa juga dilakukan oleh masyarakat di sekitar hutan itu," tutur dia.
Dalam pembuatan film dokumenter tersebut, Faisal menyebutkan ada beberapa tantangan, salah satunya ketika pengambilan gambar di hutan. "Proses dari pembuatannya yg paling sulit itu pasti saat ke medan hutannya, saat mengambil footagenya. Untuk interview masyarakat di sekitar, pengambilan gambar itu sangat kooperatif sekali. Jadi tidak ada masalah karena masyarakat sendiri itu sudah tau apa manfaat menjaga hutan itu. Kita pun juga dapat manfaat yg sangat baik," tutup dia.