Jakarta, Gatra.com - Indonesia beberapa kali mengalami kekalahan dalam menghadapi gugatan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) tekait komoditas pangan. Misalnya saja melawan Selandia Baru terkait impor produk hortikultura pada 2017 dan Brazil terkait impor ayam pada 2017.
Isu tersebut kembali mencuat ketika pemerintah memutuskan untuk membuka keran impor bagi ayam setelah Rapat Koordinasi di Kementerian Perekonomian, Rabu (8/8) lalu.
"Datanya harus lengkap. Dari sisi WTO ini juga masalah data. Bagaimana kita bisa membuktikan bahwa mereka dIizinkan tapi belum masuk pasar Indonesia? Itu sudah kewajiban," ungkap Ekonom Universitas Indonesia (UI), Fithra Faisal ketika dihubungi Gatra.com pada Kamis (8/8).
Baca Juga: Dikalahkan Brazil di WTO, Indonesia Buka Keran Impor Ayam
Fithra mencontohkan tata niaga ayam. Ia berpendapat data yang ada masih belum jelas dan menimbulkan disparitas harga yang jauh antara produsen dan konsumen ketika terjadi oversupply (kelebihan pasokan) ayam beberapa waktu lalu.
"Kalau kita sudah tahu datanya seperti apa, kita bisa identifikasi masalahnya. Kita dengan data yang tidak jelas, ada masalah distribusi," ujarnya.
Dia menuding adanya pihak perantara (middlemen) yang meraup keuntungan besar dalam tata niaga ayam.
Baca Juga: Siap Tantang Uni Eropa di WTO, RI Seleksi 3 Firma Hukum
Terkait impor ayam, Ia menilai adanya perbedaan persepsi mengenai kesehatan dan kehalalan produk ayam antara Indonesia dengan negara-negara lainnya.
Fithra berpendapat biasanya negara-negara yang digugat terkait hambatan non-tarif seharusnya memenangi gugatan di WTO. "Ini anomali karena Indonesia dari sisi non tariff. Lemah sekali tim negosiasi dan datanya. Ini kita memberikan non tariff measures, tak hanya untuk memproteksi petani lokal. Justru yang paling penting dari segi konsumen yang harus dilindungi," terangnya.