Jakarta, Gatra.com - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), meminta Presiden Jokowi untuk tidak menandatangi Peraturan Presiden Komando Operasi Khusus TNI (Perpres Koopsus), karena alasan tidak tepatnya pasukan militer diberikan kewenangan menangani kasus terorisme.
Komisioner Komnas HAM, Mochamad Choirul Anam, menegaskan bahwa pengaturan soal keterlibatan TNI untuk terorisme itu terbatas, skalanya terbatas, obyeknya terbatas dan fungsinya juga terbatas.
"Ternyata, dalam perkembangannya, batasan-batasan yang menjadi warning kami dan semua masyarakat yang menginginkan proses demokratisasi lebih bagus dan menginginkan negara hukum, yang juga lebih bagus, itu tidak diindahkan," ujar Anam saat konferensi pers di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Kamis (8/8).
Menururnya, dalam draft Perpres yang didapatkan Komnas HAM, Koopsus dianggap diberikan kewenangan yang melampaui batas negara. Dikhawatirkan berpotensi untuk menciptakan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia.
"Salah satu yang paling terasa adalah ketidakjelasan skalanya di mana. Kedua, masuk dalam semua ruang, mulai pencegahan, sampai penegakan, penindakan dan sampai ngomong pemulihan, itu tidak boleh," tegas Anam.
Postur undang-undang negara, lanjut Anam, ditetapkan bahwa pemulihan dalam kasus terorisme bahkan tidak berada di kepolisian, melainkan di Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Selain itu, perihal eksekusi teknis dan pencegahan ada di Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan penindakan ada di kepolisian.
"Perpres ini bertentangan dengan undang-undang pokoknya, jadi memang kami berharap Presiden Jokowi tidak menandatangani, dan kami meminta untuk mengevaluasi kembali fungsi dan tugas di Koopsus. Jadi tidak boleh melampaui batas," ujar Anam.
Sebagai informasi, pemerintah melalui Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2019 tentang Susunan Organisasi Tentara Nasional Indonesia, telah membentuk Koopsus dari matra darat, laut dan udara yang tugasnya adalah menjadi pencegah, penindak dan pemulihan aksi terorisme.
Komnas mengkhawatirkan tugas Koopsus tersebut nantinya dapat menimbulkan potensi pelanggaran hak asasi manusia.
"Jika ini dilakukan, nanti ini kita akan diseret kepada masa kegelapan, seperti zaman orde baru. Orang bisa ditangkap oleh TNI, orang bisa dituduh dan sebagainya. Alat ukurnya apa? Ya enggak bisa diukur apa, kalau polisi kita punya prapradilan dan sebagainya, mekanismenya ada. Kalau tentara? Kecuali undang-undang Pengadilan Militernya kita ubah," jelas Anam.