Beijing, Gatra.com - Di tengah ekskalasi perang dagang yang terus meningkat, ekspor Cina pada bulan Juli malah mengalami kenaikan. Otoritas Bea Cukai Cina merilis ekspor Cina yang naik 3,3% dari tahun sebelumnya, tercepat sejak Maret. Analis memperkirakan penurunan 2,0%, sedikit lebih besar setelah jatuh 1,3% pada bulan Juni.
Namun, hal ini tidak dibarengi oleh kinerja impor yang tetap melemah, menurun 5,6%. Dengan begitu, analis menyoroti permintaan domestik yang masih lesu.
Meski demikian, para analis memperkirakan, rebound ekspor Cina ini tidak akan berlangsung lama. Pasalnya, Washington bersiap mengenakan tarif lebih tinggi pada beberapa barang Cina.
Dilaporkan Reuters, analis menambahkan, penurunan tajam mata uang yuan seminggu ini, kemungkinan hanya membantu eksportir Cina dalam jumlah kecil. Terutama dalam menghadapi kebijakan AS pada 1 September.
Seperti diketahui, Amerika Serikat menaikkan tarif atas sejumlah besar barang Tiongkok pada Mei, setelah negosiasi perdagangan terhambat, dan Beijing melakukan perlawanan.
Perang dagang ini dipicu oleh kebijakan Trump yang melihat surplus perdagangan China dengan Amerika Serikat. Namun, setelah adanya proteksionis Washington, membuat surplus perdagangan Cina ke AS mulai berkurang. Di bulan Juli kemarin, surplus Cina ke AS hanya mencapai US$27,97 miliar atau mengalami penurunan dibanding bulan Juni sebesar US$29,92 miliar.
Surplus Cina ke AS sepanjang 7 bulan pertama tahun ini mencapai US$168,5 miliar. Menyoroti ketidakseimbangan yang terus menerus terjadi, menjadi keluhan utama Trump dalam negosiasi pemerintahannya dengan Beijing.
Sebabnya, kedua negara belum ada kesepakatan untuk bernegosiasi. Kabar terbarunha, Trump berjanji mengenakan tarif 10% pada US$300 miliar impor Cina dari 1 September.
Pengenaan tarif akan memperpanjang pungutan secara efektif untuk semua barang yang dijual Cina ke Amerika Serikat. Sebagai tanggapan, pada Senin (5/8), Pemerintah Cina mengatakan, akan berhenti membeli produk pertanian A.S.
Cina membiarkan yuan terdepresiasi melewati level 7 yuan per dolar untuk pertama kalinya dalam lebih dari satu dekade. Merespon hal ini, AS menyebut Beijing sebagai "manipulator mata uang".
Capital Economics memperkirakan yuan dapat dibiarkan terdepresiasi menjadi 7,5 terhadap dolar AS tahun depan.
"Alat kebijakan paling kuat yang dimiliki para pejabat adalah nilai tukar, karena pelemahan mata uang akan mengimbangi dampak [pemberlakuan] tarif," kata Julian Evans-Pritchard, Ekonom Senior Tiongkok di Capital Economics, Kamis (7/8).
Kebijakan ini mempengaruhi impor AS senilai US$50 miliar, sehingga tetap, tanpa tarif pada pihak Cina. Ini memicu spekulasi, Cina perlu menerapkan metode pembalasan lain jika Washington terus meningkatkan tekanan.