Home Ekonomi Menembus Batas Kemustahilan

Menembus Batas Kemustahilan

Tanah Laut, Gatra.com - Mata lelaki 60 tahun itu menatap jauh, mengitari setiap sudut lahan seluas 38 hektar di Desa Tajau Mulya Kecamatan Batu Ampar Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan (Kalsel) itu, Senin (5/8). Dia menarik nafas panjang, saat kulit tangannya yang mulai tirus, ikut meletakkan batu pertama pembangunan Pabrik Kelapa Sawit (PKS) di desa itu bersama sejumlah pembesar.

Mulai dari Ketua Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (DPP-Apkasindo), Gulat Medali Emas Manurung, Dewan Pembina DPP Apkasindo, Bayu Krisnamurthi, Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan Kementerian Pertanian RI, Dedi Junaedi, Bupati Tanah Laut, Sukamta dan sejumlah pembesar lain hingga kepala desa dan petani kelapa sawit, ada di sana.

Hari itu, terbayar sudah jerih payah Samsul Bahri dan teman-temannya yang selama dua tahun lintang pukang mencari orang baik untuk mau membangun Pabrik Kelapa Sawit (PKS) di Tanah Laut. Mulai dari orang Malaysia, Singapura, Beijing, Jakarta, Bogor, sudah mereka temui. Tapi ujung-ujungnya, orang baik yang mau mewujudkan mimpi itu justru dari Tanah Laut juga. Seorang pengusaha bernama HM Rihan S Variza.

Tahun lalu, tak sengaja Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Apkasindo Kalsel ini ketemu dengan orang kepercayaannya Rihan. Dari cerita ngalor-ngidul itu, ketahuanlah kalau ternyata Rihan lagi minat-minatnya membangun kebun kelapa sawit di Tanah Laut.

Samsul kemudian menyodorkan ide gimana kalau membangun PKS saja, sebab kalau mau bangun kebun kelapa sawit atas nama perusahaan, urusannya rumit. Belum lagi belakangan pemerintah sudah membuat aturan penghentian sementara (moratorium) perkebunan kelapa sawit pula.

Saat orang kepercayaan ini cerita pada Rihan, ide Samsul tadi rupanya masuk. “Pertemukanlah saya dengan pengurus koperasi itu,” pinta Rihan kepada orang kepercayaannya tadi.

“Alhamdulillah kami ketemu pada Oktober tahun lalu,” cerita ayah tiga anak ini kepada Gatra.com Kamis (8/8).

Dalam pertemuan itu, kentara betul keseriusan Rihan soal pabrik tadi. Itulah makanya sebulan kemudian Koperasi Sawit Makmur (KSM) yang dikomandani Samsul sudah meneken perjanjian kesepahaman dengan PT Batu Gunung Mulia Putra Agro (BGMPA) milik Rihan.

Keduanya kemudian sepakat kalau skema kerjasama KSM-BGMPA adalah 30:70. Artinya, meski BGMPA yang menggelontorkan duit sekitar Rp230 miliar untuk ongkos pembangunan pabrik, tangki penampung Crude Palm Oil (CPO), pembelian truk CPO, pembangunan komplek perumahan, jalan dan infratruktur penunjang lainnya, tapi KSM kebagian saham 30 persen.

Kalau modal Rihan sudah kembali, saham KSM bakal bertambah 10 persen lagi. “Lalu petani juga bakal dapat deviden setiap akhir tahun setelah dipotong angsuran hutang atas pembangunan PKS dan segela infrastruktur penunjang itu. Deviden itu mulai dapat saat PKS sudah beroperasi,” cerita lelaki asal Banyuwangi Jawa Timur ini.

Setelah deal-dealan oke, Januari 2019, pembebasan lahan pun dimulai. Sembari membebaskan lahan, KSM mengurus segala administrasi terkait PKS itu. “April 2019, kontraktor pemenang tender asal Medan Sumatera Utara (Sumut), mulai bekerja,” cerita Samsul.

Cerita kalau petani kelapa sawit Tanah Laut bakal punya PKS sendiri, langsung merebak ke seantoro Nusantara. Banyak orang tak percaya akan kabar itu. Sebab setahu banyak orang, petani hanya bisa mengurusi kebun, lalu menjual hasil kebun berupa Tandan Buah Segar (TBS) ke tengkulak. Tak sedikit juga yang langsung ke PKS yang ada meski bukan mitra permanen.

Kebetulan, di Tanah Laut sudah ada 5 PKS yang selama ini menjadi tumpuan para petani anggota KSM. Namun masing-masing PKS itu punya kebun sendiri. Itulah makanya, TBS dari luar tidak menjadi prioritas. Kalau TBS untuk kebutuhan PKS lagi kurang, barulah TBS petani dibutuhkan.

Lantaran kondisinya seperti itu, petani yang notabene pihak luar, tak sekali dua kali kecewa. Terutama saat PKS tadi sedang tidak butuh TBS luar. Sudahlah harga tidak mengikuti harga yang ditetapkan Dinas Perkebunan (Disbun) Kalsel, TBS yang diantar petani pun tidak pernah menjadi prioritas.

Tengok saja apa yang dikeluhkan Sukiman, Kelompok Tani Sawit Jaya Desa Bumi Jaya Kecamatan Pelaihari. “Selama ini kami petani selalu antri sampai 3 hari di PKS. Lantaran lama ngendon di truk, sering juga pas bongkar, TBS sudah busuk. Sering seperti itu tentu sangat merugikan kami, Duit yang kami bahwa pulang tidak cukup untuk keluarga di rumah. Begitulah yang kami rasakan 12 tahun belakangan,” katanya.

Menjual ke tengkulak, harga jual pasti jauh lebih murah. Sebab tengkulak ambil untung dari TBS milik petani. Selisih harga semurah-murahnya Rp200. Kalau misalnya harga tim --- harga yang ditetapkan Disbun Kalsel --- Rp1.100, harga di tengkulak paling sekitar Rp850-Rp950.

Bagi Dedi Junaedi, konsep PKS swadaya ini adalah terobosan untuk memberdayakan petani swadaya lantaran selama ini di hampir seluruh daerah penghasil kelapa sawit, persoalan petani swadaya adalah Tataniaga TBS.

“Dengan adanya PKS ini akan menjadi jawaban persoalan itu. Pendirian PKS swadaya ini tidak memerlukan persyaratan minimum 20 persen kebun inti lantaran ini adalah PKS swadaya petani,” katanya.

Yang perlu dipikirkan kedepan kata Dedi adalah manajemen penerimaan buah dari petani swadaya supaya sama-sama diuntungkan atas keberadaan PKS itu.

"Saya berharap kedepannya Koperasi Sawit Makmur bisa tampil di kancah Internasional sebagai promotor berdaulatnya sawit rakyat melalui kepemilikikan PKS. Dan PKS ini diharapkan menjadi contoh tamu dari Eropa sebagai PKS percontohan petani swadaya. Jika selama ini tamu dari Eropa dan negara lain selalu dibawa ke Riau, nanti Dirjen Perkebunan akan membawa tamu ke Kabupaten Tanah Laut ini," ujar Dedi.


Abdul Aziz

 

 

644