Jakarta, Gatra.com- Sekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional (PAN) Eddy Soeparno mengatakan kepada Gatra.com, hasil evaluasi perolehan suara PAN pada Pemilihan Legislatif kurang signifikan yakni di angka 6,84%.
Menurut Eddy, PAN salah ambil strategi sebab suara perolehan Paslon 02 Prabowo-Sandi yang notabene didukung umat, tidak sejalan dengan perolehan suara parpol pendukungnya, terlebih PAN.
"Kita sudah lihat dari segi pilpres, parpol pendukung Prabowo-Sandi tidak mendapat imbas dukungan umat itu. Andaikata Prabowo didukung umat, kenapa 45% suara yang mereka miliki tidak sejalan dengan perolehan suara parpol 34%. Artinya ada 11 % pemilih itu ada yang memilih PDIP, Golkar dan lain lain,"kata Eddy kepada Gatra.com di kediamannya di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, Selasa (6/8).
Eddy berujar, dari hasil pilpres dan pileg menunjukkan suara umat menyatu. Namun perolehan suara parpol lebih besar pada parpol pendukung Paslon 01 Jokowi-Ma'ruf Amin.
"Kenapa perolehan suara terkuat yakni justru dari parpol pendukung 01? PDIP, kedua Golkar, Gerindra baru ketiga, keempat Nasdem, kelima PKB. [Kebanyakan] parpol pendukung petahana. Kalau kita tarik kembali asal-usul konflik ideologis yang berawal dari Pilkada DKI, yang sekarang unggul jusru parpol pengusung Pak Ahok ketika itu. Bukan dari parpol yang mendapat dukungan dari umat, apalagi ijtimak ulama. Jadi kita melihat anomali disitu. [Semacam] pertimbangan bagi kita," tutur Eddy.
Dari Parpol yang didukung umat yang berada dalam elemen 212, Eddy menyebut hanya Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang lebih kental keislamannya yang memperoleh imbas suara umat.
"PAN yang notabene representase partai Islam moderat, itu agak terlalu ke kanan, sehingga beririsan dengan PKS. Ketika suara umat mau dikanalisasi melalui jalur politik yakni parpol, PKS itu lebih kental hijaunya daripada PAN. Yang mendapat imbas dari suara umat itu justru PKS, bukan PAN," kata Eddy.
Bahkan Eddy menyebut pemilih PAN yang moderat dan berada di tengah justru meninggalkan PAN ketika terlalu ke kanan. Oleh karena itu PAN tidak ragu untuk berpindah haluan, tanpa takut kehilangan konstituen. Sebab menurutnya justru konstituen PAN adalah kalangan moderat.
"Ada yang bilang kalau kita berpindah [atau] bergabung dengan pemerintah, suara kita akan berkurang. Tetapi sebentar dulu, apa tesis itu betul, apa konstituen akan pindah? kita perlu pertimbangan, kajian yang matang," ujarnya.
Dinamika yang saat ini terjadi di PAN, menurut Eddy cukup besar. Ada pro dan kontra antarkalangan. Terutama bagi yang tidak mau mengecewakan konstituen, dalam hal ini umat. Selanjutnya, pihak yang mengatakan, manfaatnya cukup besar bagi partai yang bergabung dengan pemerintah. Terlebih bagi persiapan Pilkada 2020 dan Pemilu 2024.
Meski Eddy mengakui, ketika menjadi oposisi melawan petahana, hal itu cukup berat bagi PAN. "Kita merasakan 10 bulan jadi oposisi, lumayan kita rasakan dampaknya. Perjuangan cukup berat dalam hal ini,"pungkas Eddy.
Diketahui, penentuan posisi PAN menjadi oposisi atau bergabung dengan pemerintah akan diputuskan dalam Rakernas PAN, yang akan digelar dalam waktu dekat.