Jakarta, Gatra.com - Di era modern ini dunia semakin terikat secara siber. Ancaman siber pun menjadi hal yang kapan saja bisa membahayakan suatu negara. Meskipun begitu, ketika mendapat serangan siber, negara diimbau untuk tidak langsung melakukan retaliasi kepada koordinat penyerang siber.
"Penggunaan proksi sangat dimungkinkan. Coba bayangkan misalnya negara yang disalahkan justru adalah proksi, padahal dia tidak memiliki kapasitas atau bahkan tidak tahu. Kalau langsung retaliasi, itu justru eskalasi konflik," kata peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia, Fitriani saat ditemui Gatra.com di Auditorium Perpustakaan Nasional, Gambir, Jakarta, Rabu (7/8).
Hal yang perlu dilakukan sebelum retaliasi adalah konfirmasi kasusnya terlebih dahulu. Masalahnya sekarang, kata Fitriani, adalah menentukan dan menghubungi pihak yang bisa menerima dan memperoleh informasi, serta memproses keluhan seperti ini.
"Kalau di dalam konteks PBB, mereka punya yang namanya CERT (Computer Emergency Response Team), ini semacam PMI (Palang Merah Internasional) untuk siber, dia harus netral. Permasalahannya, bagaimana kalau CERT ini tidak netral?" tanya Fitriani.
Fitriani melihat CERT ini sendiri belum bisa disetarakan dengan agensi internasional seperti International Atomic Energy Agency (IAEA) yang tugasnya memantau perkembangan nuklir negara. Karena kalau di bidang siber, pengembangan teknologinya tidak terlihat. Selain itu, karena teknologi siber mudah dieksploitasi, jika ada suatu pihak yang diberi mandat, kemungkinan eksploitasinya akan besar.
"Sejauh ini yang menjadikan hal ini sulit adalah karena dinamika dunia cukup berkonflik. Bagaimana kita bisa capai suatu titik temu atau suatu kepercayaan antarnegara kalau kondisinya masih saling pegang rahasia masing-masing," katanya.