Jakarta, Gatra.com - Ketua Himpunan Masyarakat Petambak Garam (HMPG) Jawa Timur, Muhammad Hasan mengaku stok di gudang-gudang garam telah penuh akibat diberlakukannya over impor garam tahun lalu.
"Sekarang sedang musim produksi. Kalau kita hitung 6 bulan kedepan, mereka (industri) bisa memenuhi kebutuhan sendiri. Kami harap pemerintah stop impor dan memberdayakan garam dalam negeri," kata Hasan di Kantor Kementerian Perindustrian, Jakarta, Senin (6/8).
Hasan berharap garam lokal dapat digunakan di seluruh jenis industri kedepannya. Diakuinya, kualitas garam memang harus ditingkatkan untuk kebutuhan industri-industri khusus.
"Bahan baku itu bisa digunakan untuk kepentingan konsumsi dan industri sesuai dengan penggunaannya. Ketika NaCl bahan baku tinggi, ini mempengaruhi proses peningkatan setelah diproses lagi," ungkapnya.
Menteri Perindustrian, Airlangga Hartarto mengaku Indonesia terpaksa mengimoor garam untuk memenuhi kebutuhan industri.
"Garam produksi dalam negeri hingga saat ini baru dapat memenuhi untuk kebutuhan konsumsi, serta beberapa industri seperti pengasinan ikan, penyamakan kulit, dan water treatment (pengolahan air)," terangnya.
Airlangga menjelaskan kebutuhan garam nasional tahun 2019 menurut neraca diperkirakan sekitar 4,2 juta ton, yang terdiri atas kebutuhan industri sebesar 3,5 juta ton, konsumsi rumah tangga 320 ribu ton, komersial 350 ribu ton, dan peternakan serta perkebunan 30 ribu ton.
"Sektor industri yang paling banyak menggunakan garam adalah industri klor alkali (CAP), industri farmasi, industri pengeboran minyak, serta industri aneka pangan yang seluruhnya saat ini masih harus dipenuhi dari garam impor," katanya.
Mengacu Standar Nasional Indonesia (SNI), Menperin menegaskan standar garam industri memiliki kandungan NaCl sebesar 97% untuk kebutuhan industri dan 94% untuk kebutuhan konsumsi.
Ketua Umum Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI), Tony Tanduk mengungkapkan rendahnya kualitas garam semata-mata karena proses produksi.
"Kualitas kurang karena proses produksi saja. Harusnya dilakukan melalui pengolahan garam melalui proses kristalisasi bertingkat. Paling bagus di NTT dan NTB karena garam tergantung matahari. Kalau di Australia panasnya bisa 7-8 bulan (Produksi lebih optimal)," ungkapnya.
Tony menilai harga garam impor saat ini jauh lebih murah dibandingkan produksi dalam negeri.
"Harga garam impor sekitar USD 50 (Rp 714.100) per ton. Lokal bisa Rp 1000-1500 (per kilogram), tergantung kualitasnya dan kesepakatan (mekanisme pasar)," katanya.