Tebo, Gatra.com - Lembaga Pemantau Penyelamat Lingkungan Hidup (LP2LH) kembali memfasilitasi Forum Komunitas Hijau (FKH) Tebo Kotaku Kabupaten Tebo untuk mendapatkan informasi di bidang hukum akan regulasi terkait pengolahan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (LB3).
Pada kesempatan itu, lembaga yang dipimpin oleh Tri Joko ini memberikan ruang diskusi kepada FKH Tebo Kotaku yang diwakili oleh Sekretaris FKH, Koko Hadiwana untuk penjelasan terkait penggunaan insinerator di fasilitas kesehatan.
Koko sapaan Koko Hadiwana berdiskusi langsung dengan bagian Dirjen Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di Jakarta. "Saya langsung diskusi dengan Pak Nando Sitepu. Dia sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di Dirjen LHK," kata Koko kepada Gatra.com, Selasa (6/8).
Dikatakan Koko, Nando Sitepu menjelaskan untuk setiap insinerator mempunyai rangkaian kerja pembakaran dengan dua tungku pembakaran. Tujuannya agar limbah padat medis dapat terbakar dengan maksimal (zero waste).
Untuk penggunaan insinerator harus terverifikasi di KLHK dan yang mengeluarkan rekomendasi insinerator tersebut adalah KLHK.
"Saya pesimis bila sekelas rumah sakit atau fasyankes di kabupaten dapat memiliki perizinan yang terverifikasi dari KLHK," kata Nando Sitepu disampaikan oleh Koko usai diskusi.
Menurut Nando Sitepu, sejauh ini hanya beberapa perusahaan pemanfaat atau pengolah yang izinnya terverifikasi di KLHK se-Indonesia. Pasalnya, perizinan tersebut membutuhkan uji parameter yang banyak dan biaya besar untuk operasionalnya.
"Ada baiknya untuk penggunaan insinerator harus sesuai dengan regulasi. Karena saat kita bicara tentang hukum hanya mengenal kata salah dan benar, sesuai aturan atau tidak. Karena saat aturan diberlakukan seharusnya itu sudah sampai kepada pihak yang mempunyai kepentingan," kata Koko lagi menjelaskan hasil diskusinya.
Kata Koko lagi, diskusi ringan dengan terkait penggunaan insinerator menjadi sebuah catatan penting. Apalagi pada pemrosesan akhir limbah tersebut dengan cara dibakar. Untuk itu perlu adanya sosialisasi penggunaan insinerator untuk Fasyankes yang masih melakukan pembakaran, dan juga harus secepatnya diurus dokumen perizinannya atau dihentikan penggunaannya.
"Kalau saya mengambil kesimpulan untuk proses mendapatkan rekomendasi insinerator yang sesuai dengan regulasi membutuhkan proses yang panjang dan biaya operasional yang besar, karena untuk se-Indonesia saja hanya ada 6 yang terverifikasi dari KLHK," kata Koko.
Sementara, sebagai organisasi lingkungan LP2LH akan kembali melakukan observasi ke lapangan untuk mendata fasilitas kesehatan di wilayah Jambi. LP2LH akan memastikan apakah masih ada Fasyankes melakukan pembakaran limbah namun diduga tidak sesuai dengan regulasi.
"Dalam waktu dekat ini kita akan coba langsung cek ke lapangan di area Jambi, saya harap kita dapat memberikan solusi kepada pihak terkait khususnya pemerintah daerah khususnya Dinas Lingkungan Hidup. Mereka harus responsif dan harus memiliki solusi agar masalah ini tidak merugikan banyak pihak. Apalagi limbah yang dihasilkan oleh Fasyankes itu sangat buruk bila dibiarkan terlalu lama dalam satu area pelayanan kesehatan," kata Ketua DPP LP2LH, Tri Joko.