Jakarta, Gatra.com - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, harga cabai sebagai salah satu penyumbang inflasi pada Juli lalu. Berdasarkan data BPS, cabai merah memberikan andil inflasi sebesar 0,20% dan cabai rawit menyumbang andil inflasi 0,06%. Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri (PDN) Kemendag Tjahya Widayanti mengatakan, hal ini karena masih kurangnya pasokan cabai ke pasar induk Kramat Jati, Jakarta.
“Setelah kami telusuri, contohnya di Kramat Jati Pasar Induk [yang] tidak normal pasokannya. Normalnya 100-125 ribu ton per hari. Ini hanya 90an ribu [ton]. Jadi karena pasokan yang kurang sebabnya. Ini kan supply dan demand saja,” kata Tjahja kepada wartawan, Selasa (6/8).
Berdasarkan komunikasinya dengan Kementerian Pertanian, lanjut Tjahja, disebabkan oleh panen yang mulai berkurang di berbagai daerah. Meski begitu, ia mengatakan, harga cabai sudah mulai mengalami penurunan di berbagai daerah. “Mudah-mudahan tidak lama lagi [harga turun]. Hampir [sudah] 4 bulan seperti itu. Sekarang udah agak turun menjadi Rp40 ribuan per kilo. Kecuali cabe rawit merah, itu tinggi. Ini terbalik, waktu lebaran itu harga Rp10.000-Rp15.000,” jelasnya.
Untuk itu, tambahnya, Kemendag telah meminta pasokan tambahan sebesar 30 ribu ton cabe pada Agustus ini. Dari berbagai tempat yang berpotensi memasok. Mayoritas wilayah pemasok masih berasal dari Jawa dan Lombok. “Ditambah itu kira-kira segitu, dikalkulasi harga akan turun. Kalau dilihat, harga sudah [turun] sepertinya. Karena harga cerminan supply dan demand. Harga sudah mulai turun dari bulan ke bulan, bulan ke minggu, minggu ke hari, berarti itu sudah mulai kembali normal,” imbuhnya.
Di samping itu, menurutnya, pemerintah juga sudah mulai mengantisipasi dampak musim kemarau terhadap produktivitas bahan pangan. Walau demikian, menurutnya, komoditas cabe masih yang menjadi perhatian memasuki musim kemarau tahun ini. “Perlu diantisipasi. Yang rawan dari pengamatan saya masih cabe,” katanya.