Home Ekonomi Kementan-FAO Rumuskan Penanganan Ulat Grayak Baru Jagung

Kementan-FAO Rumuskan Penanganan Ulat Grayak Baru Jagung

Jakarta, Gatra.com - Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Kementerian Pertanian (Kementan) bekerja sama dengan Food and Agriculture Organization (FAO) merumuskan penanganan serius terhadap hama baru pada tanaman jagung, yakni hama Spodoptera frugiperda atau ulat grayak frugiperda (UGF).

Kepala Subdirektorat Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman Serealia, Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan, Kementan, Deddy Ruswansyah, dalam keterangan tertulis, Senin (5/8), menyampaikan, upaya ini dilakukan agar UGF tidak mengancam kesejahteraan petani jagung di nusantara.

Menurutnya, perumusan penanganan hama tersebut dilakukan dalam pertemuan "Perumusan Strategi dan Program Nasional Pengendalian Fall Armyworm di Indonesia" pada tanggal 31 Juli hingga 2 Agustus 2019 di Bandar Lampung.

Pertemuan tersebut dihadiri pihak Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura dari 14 provinsi, Pusat Karantina Tumbuhan dan Keamanan Hayati Nabati Badan Karantina Pertanian, dan Balai Besar Peramalan Organisme Pengganggu Tumbuhan dengan narasumber dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Gadjah Mada (UGM), dan Universitas Lampung (UNILA), serta tenaga ahli FAO.

Penanganan hama pada jagung ini harus dimulai dengan identifikasi yang merupakan poin kritis untuk memetakan penyebarannya. Identifikasi juga menjadi kunci pelaksanaan upaya pengelolaan hama.

Ulat grayak frugiperda (Spodoptera frugiperda. (Dok. Kementan/re1)

"Ada beberapa ciri khusus yang menandai spesies ini dan yang paling mudah dilihat adalah terdapat huruf Y terbalik berwarna cerah pada bagian kepala dan terdapat empat titik hitam pada abdomen ke delapan yang membentuk kotak," kata Dewi Sartiami, pengajar dari IPB.

Baca juga: Tim Ahli IPB: Hama Fall Army Worm (FAW) Sudah Muncul di Indonesia

"Selain itu, ditambah dengan mengamati keberadaan garis pucat di bagian lateral, garis cerah di bagian samping tubuh, serta garis tebal berwarna gelap menyerupai pita di bagian samping tubuhnya," tambahnya.

Sementara itu, Guru Besar dari Universitas Gajah Mada, Prof. Y. Andi Trisyono, menyebutkan, identifikasi awal dapat dilakukan dengan melihat gejala pada tanaman jagung yang terserang. Tanaman jagung terserang Spodoptera frugiperda akan meninggalkan alur bekas gorokan larva muda yang menyebabkan daun terlihat transparan.

"Daun pun terlihat berlubang, titik tumbuh terpotong atau berlubang, serta banyak ditemukan kotoran yang bentuk dan warnanya menyerupai serbuk gergaji," ungkapnya.

Langkah Pengelolaan

Kepala Subdirektorat Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman Serealia Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan Kementan, Deddy Ruswansyah, menuturkan, pengelolaan hama dapat dilaksanakan dengan efektif apabila mengenali dengan baik hama sasaran. Langkah mendesak yang perlu segera dilaksanakan adalah peningkatan kemampuan petugas lapangan (POPT dan PPL) dan petani tentang S.frugiperda.

"Dengan dilaksanakannya pertemuan ini diharapkan seluruh pihak dapat berkontribusi secara aktif dalam upaya merespon masuknya UGF di Indonesia," katanya.

Upaya Pengendalian

Menurut Deddy, ada beberapa macam pilihan teknologi pengendalian yang dapat dilakukan untuk mengendalian ulat grayak ini. Di antaranya pengendalian mekanik, pengendalian hayati, kultur teknis, dan aplikasi insektisida.

"Pengendalian mekanik dilakukan dengan pengumpulan kelompok telur, larva, dan pupa kemudian dimusnahkan," ujarnya.

Sementara pengendalian hayati, kata Deddy, yakni dengan konservasi musuh alami, seperti memasukkan kelompok telur dalam tabung parasitoid, menanam tanaman refugia, dan mengurangi pemakaian herbisida. Beberapa entomopatogen yang dilaporkan bisa menekan populasi UGF adalah Metarhizium rileyi dan Bacillus thuringiensis.

"Pengendalian kultur teknis lebih ditujukan untuk menghindari masa peletakan telur UGF berdasarkan pengamatan pada light trap dan bisa juga dilakukan dengan budidaya tumpangsari jagung-ubi jalar," ungkapnya.

Baca juga: Petani di Muaro Jambi Keluhkan Serangan Hama Tikus dan Ulat Grayak

"Terakhir, apabila serangan >20% dapat dilakukan aplikasi insektisida berbahan aktif yakni emamektin benzoat, tiametoksam, cyantraniliprol, spinetoram langsung pada titik tumbuh tanaman," tandas Deddy

Perlu diketahui, pertemuan ini berakhir dengan disepakatinya beberapa poin penting yang menjadi road map pengelolaan hama frugiperda di Indonesia. Road map terdiri dari stategi pengelolaan UGF, rancangan program nasional pengelolaan UGF serta langkah operasional jangka pendek yang perlu dilakukan sebagai upaya membatasi populasi dan penyebaran UGF di Indonesia.

Kesepakatan tersebut akan menjadi pedoman seluruh pemangku kepentingan dalam upaya mengelola UGF jangka pendek dan jangka panjang sehingga upaya pengendalian dapat dilakukan dengan efektif dan memberikan hasil nyata di lapangan.

UGF merupakan spesies hama yang berasal dari benua Amerika Tengah. Di Indonesia, pertama kali hama ini dilaporkan ditemukan di Kabupaten Pasaman Barat pada bulan Maret tahun 2019 dan secara resmi dilaporkan ke dunia internasional pada bulan Juli 2019 melalui International Plant Protection Convention (IPPC).

Dalam kurun waktu hanya lima bulan, UGF telah menyebar di berbagai kabupaten di Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi dengan luas serangan mencapai 4.357 hektare (ha). Hal ini terjadi karena selain daya terbang yang cukup jauh (mencapai ratusan kilometer hanya dalam satu malam saja), UGF juga memiliki siklus hidup yang pendek (sekitar 30 hari) dan kemampuan menghasilkan telur yang tinggi (hingga 1.000 telur per serangga betina dewasa).