Kashmir, Gatra.com - Dua politisi ternama di Kashmir resmi menjadi tahanan rumah beberapa hari setelah ribuan tentara dikerahkan ke wilayah sengketa itu.
Dilansir BBC, pemerintah India yang menangani administrasi Kashmir telah melarang adanya pertemuan publik. Bahkan, terdapat laporan yang mengatakan bahwa jaringan seluler dan internet telah dibatasi.
Pekan lalu, pihak berwenang juga memerintahkan para wisatawan dan peziarah Hindu untuk meninggalkan Kashmir. Perintah ini didasari pengumuman adanya ancaman teror terhadap ziarah tahunan di kuil besar.
Hingga saat ini, masih belum ada laporan mengenai kejelasan di balik tindakan yang diambil pemerintah India. Keputusan ini malah menimbulkan ketegangan di Kashmir. Muncul spekulasi, Delhi siap mencabut beberapa hak istimewa Kashmir, khususnya Pasal 35A mengenai ketentuan konstitusional, yang antara lain mencegah orang dari luar negeri membeli aset tanah negara di sana.
Pertemuan kabinet untuk membahas situasi ini telah selesai dikakukan. Menteri Dalam Negeri, Amit Shah akan berpidato di parlemen terkait hasil pembahasan itu.
Kashmir telah berada di bawah kekuasaan gubernur sejak Juni 2018 ketika Partai Bharatiya Janata (BJP) yang memerintah menarik diri dari koalisi pemerintah negara bagian dengan Partai Demokrat Rakyat (PDP) regional.
Pada Senin dini hari (5/8), dua mantan menteri utama Kashmir yang dikelola India, Omar Abdullah dan Mehbooba Mufti, resmi ditetapkan menjadi tahanan rumah. Kedua pemimpin itu mengungkapkan mengenai penahanannya serta situasi di sana dalam cuitannya di Twitter pada Minggu (4/8).
Pasal 35A adalah undang-undang yang mengatur pembatasan siapa saja yang dapat membeli atau memiliki properti dan melindungi karakter demografis negara yang berbeda.
Banyak warga Kashmir telah lama mencurigai kelompok-kelompok nasionalis Hindu mendorong umat Hindu untuk bermigrasi ke negara itu. Mereka melihat pencabutan Pasal 35A sebagai bukti lebih lanjut.
Tetapi BJP yang berkuasa pernah bersumpah untuk mencabut undang-undang tersebut. Manifes Pemilu 2019 mengatakan bahwa itu diskriminatif terhadap penduduk tidak tetap dan perempuan Kashmir.
Mereka menambahkan bahwa pihaknya percaya Pasal 35A adalah sebuah hambatan bagi perkembangan negara.
India telah memerangi pemberontakan bersenjata di Kashmir sejak 1989. Pengangguran yang tinggi dan tuduhan pelanggaran hak asasi manusia oleh pasukan keamanan India telah memperburuk masalah ini.
Status khusus Kashmir, kata para ahli, sangat penting mengingat hubungan yang penuh ini. Setiap upaya untuk melemahkan status dipandang oleh banyak orang sebagai pelanggaran terhadap otonomi Kashmir.