Jakarta, Gatra.com - Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira menyebut, perusahaan startup di Indonesia masih belum menyerap tenaga kerja secara maksimal.
"Sementara itu, manfaat keberadaan startup bagi penyerapan tenaga kerja [semi terampil dan berketerampilan/berkeahlian tinggi] masih terbatas," jelasnya dalam Diskusi Online INDEF "Polemik Investasi Asing di Startup Unicorn", Minggu (4/8).
Bhima berpendapat, jutaan pekerja di bidang online yang terserap masih tergolong low skilled. Mereka mengerjakan pekerjaan sederhana.
"SDM [Sumber Daya Manusia] high skilled startup di Indonesia masih dipenuhi tenaga kerja asing atau outsourcing ke negara lain," tuturnya. Ia mencontohkan pusat pengembangan teknologi informasi (TI) Gojek di Bangalore, India.
Mengutip data dari Glassdoor, Ia mengungkapkan gaji Data Scientist di kantor Gojek Bangalore rata rata 2.1 juta rupee per tahun atau dikonversi ke rupiah setara Rp35,7 juta per bulannya.
"Jadi bukan masalah upah di India lebih murah dibanding tenaga kerja Indonesia. Permasalahan utama adalah skill SDM di Indonesia belum memenuhi syarat untuk berkompetisi di dunia ekonomi digital," tegasnya.
Ekonom Senior INDEF, Didik Junaidi Rachbini berujar, setiap investasi secara langsung menambah modal dalam negeri. Selain itu, menyerap tenaga kerja dan menghasilkan output nasional.
"JIka investasi yang digadang-gadang hanya untuk eksploitasi pasar dalam negeri, maka investasi tersebut berkualitas rendah," tegasnya.
Menurutnya, investasi haruslah didorong untuk meningkatkan ekspor dan daya saing pasar global.
Didik menanggapi investasi yang mengeksploitasi pasar dalam negeri yang terjadi pada banyak perusahaan startup. Ia mengibaratkan pisau bermata dua.
"Dampaknya terhadap perekonomian bercampur antara positif menyerap tenaga kerja dan produktif menciptakan barang jasa, tetapi juga berdampak negatif menyedot modal keluar," jelasnya.