Jakarta, Gatra.com - Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira mengatakan, keberadaan startup berkontribusi terhadap naiknya impor barang konsumsi di Indonesia, sehingga memperparah defisit perdagangan Indonesia.
"Data Asosiasi E-Commerce menunjukkan kecenderungan 93% barang yang dijual di marketplace adalah barang impor. Artinya, produk lokal hanya 7%," ujarnya dalam Diskusi Online INDEF "Polemik Investasi Asing di Start Up Unicorn", Minggu (4/8).
Bhima mencatat, pada tahun 2018, impor barang konsumsi naik sebesar 22%. Padahal konsumsi rumah tangga hanya tumbuh 5%.
Oleh karena itu, Ia berpendapat, perlu adanya kesamaan regulasi antara barang impor di peritel konvensional dan online.
Sebelumnya, ada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 112/PMK.04/2018 (PMK 112) yang memperkecil nominal ketentuan nilai bebas bea masuk dari USD100 menjadi USD75 per hari.
"Tapi aturan itu belum cukup. Porsi barang impor di ecommerce harus diatur misalnya 70% harus menjual produk yg diproduksi lokal," tuturnya.
Bhima menyarankan, perlu agregator untuk menyerap dan memfasilitasi produk UMKM yang akan dipasarkan ke marketplace. Fungsinya meliputi logistik, kontrol mutu, dan pendampingan.
"Berdayakan UMKM [Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah] di 75.000 desa. Untuk memasarkan produknya secara online dan syukur kalau bisa ekspor. Dana desa yang jumlahnya Rp70 triliun per tahun bisa dimanfaatkan untuk BUMdes [Badan Usaha Milik Desa],"ucapnya.