Jakarta, Gatra.com - Polisi menyebut lembaga permasyarakatan (lapas) belum berhasil membuat narapidana jera terhadap perbuatannya. Salah satu peristiwa yang belum lama terjadi adalah kasus pencabulan anak di bawah umur dengan metode child grooming yang dilakukan seorang narapidana di lapas melalui media sosial.
Berkaca dari pengalaman tersebut, Kepala Bagian Penerangan Umum (Kabag Penum) Divisi Humas Polri, Kombes Pol Asep Adi Saputra menjelaskan, efek jera bukanlah menjadi jawaban untuk narapidana.
"Kasus grooming di lapas [artinya] lapas tidak menjadi tempat yang bisa memberikan efek jera. Padahal sebagai Lembaga Permasyarakatan, yang tadinya [tahanan] asosial, menjadi sosial, kembali ke masyarakat. Artinya, bahwa efek jera bukan menjadi jawaban," kata Asep selepas diskusi soal child grooming di Jakarta, Sabtu (3/8).
Baca Juga: Begini Cara Cegah Anak Tonton Film Dewasa di Netflix
Asep menjelaskan, akibat kondisi lapas yang over kapasitas membuat para petugas lapas kesulitan bahkan luput mengawasi narapidana. "Sehingga sering kali kita mendengar, di tempat seperti itulah malah menjadi marak timbulnya kegiatan-kegiatan yang menyimpang," papar Asep.
Dengan demikian, menurutnya, langkah yang paling tepat mengatasi kasus tersebut adalah dengan mengamalkan sila pertama pada Pancasila, mendekatkan diri kepada Tuhan.
Sebelumnya, polisi mencokok narapidana Surabaya, TR (25) yang melakukan pencabulan lewat media sosial dari dalam lapas. Wakil Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri, Kombes Pol Asep Safrudin mengatakan, TR merupakan narapidana kasus pencabulan anak yang divonis 7 tahun 6 bulan dan baru menjalani hukuman 2 tahun penjara.
Baca Juga: Pemko Kupang Dorong Pemenuhan Hak Anak
Ditemukan sebanyak 1.300 foto dan video porno anak di bawah umur dalam surel tersangka. Dari jumlah tersebut, polisi baru mengidentifikasi 50 korban, yang terdiri dari anak SD hingga SMA dengan rentang usia 11-17 tahun.
Asep menjelaskan, informasi tersebut awalnya didapatkan dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Setelah diselidiki lebih lanjut, polisi mendapatkan sedikitnya empat cara tersangka melakukan pencabulan melalui media sosial.
Pertama, tersangka menerapkan social engineering di Instagram. Pelaku melakukan profiling untuk mencari informasi tentang calon korban dengan kata kunci SD, SMP, dan SMA untuk menemukan akun guru dan anak, terutama yang tidak dikunci atau diatur dalam mode private.
Baca Juga: 10 Anak Tersangka Kerusuhan 21-22 Mei Didiversikan
Langkah kedua, yakni membuat fake account atau akun palsu untuk menyamar sebagai ibu guru korban guna mengelabui para korban.
"Setelah didapatkan hasil dari penyelidikan itu, ternyata ditemukan akun-akun tersebut mengatasnamakan ibu-ibu guru di dalam Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, dan ada juga Sekolah Menengah Atas," kata Asep saat konferensi di gedung Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Senin (22/7) lalu.
Langkah ketiga, tersangka mengirim pesan pribadi kepada korban melalui pesan pribadi atau DM (direct messages) Instagram dan pesan WhatsApp sebagai sarana tersangka memberikan instruksi dan menerima konten pornografi dari korban.
Baca Juga: Pendidikan Kunci Risma Atasi Kemiskinan di Surabaya
"Si anak diminta nomor WhatsApp. Karena si anak ini menganggap yang mengirim DM adalah ibu gurunya, dia memberikan nomornya. Kemudian komunikasi dan si tersangka memerintahkan kepada anak untuk melakukan kegiatan yang sudah dibimbing si TR. Ada yang diperintahkan adalah melucuti pakaian, bahkan lebih dari itu, si anak diminta menyentuh bagian intimnya," papar Asep.
Keempat, tersangka melakukan grooming untuk membujuk korban agar mengirimkan foto dan video tanpa busana dengan dalih nilai terancam jelek jika menolak. "Sehingga si anak ini menjadi takut dan menuruti apa yang diinginkan akun palsu ibu guru tersebut," terangnya.
Asep menjelaskan, dari hasil penelusuran konten video dan foto tersebut, korban bisa saja mencapai lebih dari 50 orang.
Baca Juga: Suku Anak Dalam Korban SMB Ditelantarkan Dinsos Tebo
"Saya yakin lebih dari itu [korbannya]. Karena dari 1.300 foto itu kita belum bisa mengidentifikasi apakah ada perbedaan. Sebab si tersangka bilang satu orang bisa kirim tiga, empat, atau bahkan lebih dari lima foto dan video. Kita terus dalami korban-korban ini, jangan sampai mereka trauma akibat perilaku tersangka," ucapnya.
Adapun motif tersangka melakukan perbuatan tersebut, sejauh ini, untuk kepentingan dirinya sendiri.
"Untuk memuaskan dirinya sendiri. Apakah tersangka terlibat dalam satu sindikat pedofil atau bahkan foto dan videonya itu disebar ke media sosial lain atau kepada mafia pedofil atau bahkan dijual, itu sedang kita dalami terus," paparnya.